Benarkah Para Pebisnis Hanya “Mengejar Dunia”?

oleh  Nilna iqbal

“Kesengsaraan yang paling sengsara ialah miskin di dunia dan disiksa di akhirat.” (HR. Ath-Thabarani dan Ash-Shihab)

Tak dapat dipungkiri, sampai saat ini masih saja ada beberapa penilaian dan pandangan “miring” sebagian masyarakat Islam, tentang bisnis. Semua pandangan ini, menurut Muhammad Ali Haji Hashim dalam bukunya Bisnis Satu Cabang Dari Jihad, terbitan Pustaka Al-Kautsar, sesungguhnya bersifat antifitrah dan antibisnis.

Pandangan-pandangan negatif itu, antara lain sebagai berikut:

1. Mengejar keuntungan dan harta kekayaan dunia melalui bisnis bertentangan dengan ajaran Islam.

2. Mengejar kesuksesan bisnis tidak harus diutamakan dalam mencari kesempurnaan hidup dunia dan akhirat.

3. Tidak ada hubungan antara bisnis dengan beribadah dan beramal shalih.

4. Bisnis, harta kekayaan dan uang adalah puncak utama segala maksiat dan kepincangan dalam masyarakat.

5. Tidak ada hubungan antara bisnis dengan kewajiban menuntut dan meningkatkan ilmu pengetahuan.

6. Waktu yang digunakan untuk beribadah di masjid (selain ibadah fardhu) lebih bermanfaat dan menguntungkan dibandingkan dengan waktu yang digunakan untuk bekerja menyukseskan bisnis, baik milik perusahaan atau sendiri.

7. Menghadiri majlis ilmu, khususnya ilmu agama, lebih mulia derajatnya daripada bekerja dan mengusahakan bisnis. Asumsinya, tak ada kebaikan dan amal ibadah yang dapat direalisasikan melalui bisnis. Tak ada manfaat ilmu yang bisa diperoleh melalui bisnis.

Anjuran-anjuran antibisnis seperti ini selalu disampaikan secara tidak langsung melalui kiasan, sindiran atau cerita sinis yang sering disisipkan dalam ceramah, kuliah dan majlis ilmu yang lazim diikuti.

Ungkapan-ungkapan ini malangnya tidak diikuti oleh penjelasan tentang adanya ruang dan kesempatan bagi bisnis yang dibenarkan oleh Islam untuk umatnya.

Dengan antusias, para mubaligh berpesan agar umat Islam lebih kuat beribadah dan lebih teguh pada keimanan. Seringkali anggota masyarakat diremehkan, terutama yang bekerja terus menerus dan gigih dalam menyukseskan bisnis. Mereka digolongkan dalam kelompok yang “mengejar dunia” dan “menomorduakan akhirat“.

Yang lebih aneh lagi, pandangan-pandangan itu pun ternyata banyak pula menyelinap di kalangan para pebisnis sendiri, sehingga terkadang muncul perasaan bersalah, perasaan malu, tidak nyaman, ataupun dalam bentuk-bentuk ungkapan apologis.

Prasangka bahwa bisnis adalah usaha yang rendah nilainya, ataupun tuduhan “materialistis”, kebendaan dan “keduniawian” tampaknya perlu perhatian dan penelitian yang lebih teliti, sehingga persepsi-negatif ini benar-benar bisa disingkirkan dari benak para pebisnis muslim. Karena tanpa keberhasilan menghapuskan persepsi ini, dan tanpa berpikir realistis, seorang pebisnis akan kalah dalam medan pertarungan dan persaingan, bahkan sebelum bertanding.

Padahal Rasulullah SAW dalam sebuah hadits yang jelas menyatakan bahwa, “Pedagang yang jujur dan amanah (akan ditempatkan) beserta para nabi, shiddiqin dan para syuhada!” (HR At-Tirmidzi)

Rasulullah pun bersabda bahwa “sembilan per sepuluh sumber rezeki terdapat pada bisnis” (HR At-Tirmidzi)

Gimana menurut anda?

2 thoughts on “Benarkah Para Pebisnis Hanya “Mengejar Dunia”?”

  1. Saya setuju dengan ungkapan tersebut, karena sekarang ini berapa banyak orang islam yang belum mampu hidup dengan layak sehingga mereka sering kali menyalahkan nasih, sedangkan di sisi lain mereka mentabukan berbisnis. Bisnis itu sah-sah saja, bahkan kalau menurut saya sangat dianjurkan asalkan untuk maslahat umat, sehingga ketika binsis telah besar semakin banyak umat yang bisa berlindung di bawahnya sehingga mereka tidak kufur dengan allah hanya karena mereka susah dalam mencari rejeki.

Leave a Comment