Dialog Imam Ja’far Dengan Para Tokoh Sufi

Pada awal abad kedua Hijriyah, muncul satu kumpulan dari kalangan Muslimin yang menamakan diri: “Orang-orang Sufi dan Zuhud”. Mereka mempunyai cara hidup tersendiri, dan mengajak orang lain melakukan hal yang sama.

Mereka begitu intens dalam menonjolkan gaya ini seakan ajaran agama terbatas pada tasawwuf dan kezuhudan saja. Mereka mengajak orang mukmin agar menghindari nikmat-nikmat duniawi, meninggalkan pakaian-pakaian yang elok, makanan-makanan yang lezat dan tak mau tinggal di tempat-tempat yang mewah. Mereka mencela orang-orang yang menikmati pemberian-pemberian Ilahi ini, dan mencap orang-orang seperti itu sebagai “ahli dunia” dan jauh dari sisi Allah.

Ajaran ini sebelumnya pernah ada di Yunani, India, atau di belahan dunia lain sebelumnya. Lalu menyebar pula dikalangan orang-orang Islam, yang kemudian mereka celup dengan warna agama.

Cara dan ajaran seperti ini berkesinambungan dan memberikan pengaruh yang besar kepada generasi-generasi berikutnya. Bahkan bisa dikatakan, mereka telah berhasil membentuk suatu mazhab baru. Maka sebagai akibatnya, terbentuklah kelompok yang tidak menghargai pilar-pilar kehidupan, tidak terikat dengan pekerjaan-pekerjaan, disamping juga menimbulkan kemunduran dan keterbelakangan di negara-negara Islam.

Pengaruh mazhab dan falsafah ini tidak terbatas pada orang-orang yang menamakan diri mereka sebagai sufi saja, bahkan cara berfikir yang unik yang bertopengkan zuhud, taqwa dan menanggalkan dunia, merayap pula ke semua tingkatan dan kelompok-kelompok mazhab Islam yang lain, yang mereka sendiri kadang-kadang menamakan dirinya sebagai anti sufi.

Tapi harus kita katakan juga, bahwa tidak semua orang yang menamakan diri mereka sufi, mempunyai cara berfikir dan hidup seperti itu. Dan tidak diragukan lagi, bahwa cara ini harus kita golongkan sebagai jenis penyakit sosial, suatu penyakit berbahaya yang bisa melumpuhkan semangat dan mentalitas kehidupan masyarakat Muslim. Penyakit seperti itu harus diperangi dan dibersihkan. Tapi, sayang sekali, usaha untuk itu tidak pernah ditujukan untuk membersihkan cara dan tata berfikir mereka. Penyerangannya selalu terfokus pada nama-nama dan pribadi saja, dan kadangkala untuk mendapatkan kedudukan duniawi semata-mata. Dan tidak sedikit orang yang memerangi penyakit tersebut, tanpa disadari, justru ikut terjangkit dan menyebarkan kuman-kumannya kepada yang lain. Mungkin hal ini disebabkan ketidak pahaman dan terbatasnya ilmu orang-orang yang tampil memerangi pikiran tersebut.

Oleh karena itu, penyakit dan cara berfikir yang kacau dan ngawur ini harus kita perangi. Maka berikut ini adalah penjelasan Imam Ja’far Ash-Shadiq, guru dari seluruh imam-imam mazhab dalam Islam, tentang perkara penting ini dalam bentuk dialog langsung dengan tokoh sufi yang sangat terkenal, Sufyan Al-Tsury, insyaAllah merupakan petunjuk dan jawaban yang paling lengkap dalam rangka menolak cara berfikir yang salah ini. Dan Alhamdulillah, jawaban tuntas Imam Ja’far tersebut masih tetap terjaga dan tersimpan rapi di banyak buku-buku Islam sampai saat ini.

Alkisah, pada suatu hari, Sufyan Al-Tsury yang hidup di kota Madinah, datang mengunjungi Imam Ja’far Ash Shadiq r.a. Saat itu dia melihat imam sedang memakai pakaian yang rapi dan sangat elok, bagaikan tabir halus yang memisahkan antara kuning telur dengan putihnya. Sufyan mengkritik, “Anda tidak selayaknya menceburkan diri Anda dalam kemewahan duniawi. Dari Andalah diharapkan ketakwaan, kezuhudan dan sifat menghindari dunia.”

Lalu imam berkata, “Dengar baik-baik hai Sufyan. Akan aku katakan sesuatu yang berguna untuk dunia dan akhiratmu. Apabila engkau keliru dan tidak mengetahui pandangan agama Islam yang sebenarnya tentang perkara ini, maka ucapanku akan betul-betul berguna. Namun kalau maksudmu untuk berbuat sesuatu yang bid’ah dan menyelewengkan ajaran agama, itu adalah soal lain, dan kata-kataku ini tidak akan ada gunanya.

Mungkin engkau mengamalkan cara hidup Rasulullah dan sahabat-sahabatnya yang faqir dan bersahaja pada zaman dulu, kemudian engkau mengira bahwa itu merupakan satu jenis taklif (kewajiban) bagi setiap Muslim sampai hari kiamat.

Namun kukatakan kepadamu, bahwa Nabi hidup di suatu masa dan keadaan dimana kesengsaraan, kemiskinan dan kesempitan melanda mereka. Rata–rata kaum muslimin saat itu tidak memiliki bahan keperluan pokok untuk hidup. Kehidupan Nabi dan sahabat–sahabatnya pada masa itu memang disebabkan oleh situasi dan kondisi yang menimpa semua orang.

Tapi kalau hidup di suatu masa dimana keperluan–keperluan hidup mudah didapat dan kondisinya mengizinkan kita untuk menikmati pemberian-pemberian Ilahi, maka yang paling berhak untuk menikmati karunia dan nikmat-nikmat Allah tersebut adalah orang-orang yang saleh dan bertakwa, bukan orang-orang fasiq, bukan orang-orang kafir, melainkan orang-orang Muslim.

“Aib apa yang engkau lihat pada diriku? Demi Allah, meskipun – sebagaimana yang engkau lihat – aku menikmati pemberian-pemberian dan nikmat-nikmat Ilahi ini, tapi sejak masa baligh-ku sampai sekarang, tidak pernah malam dan siang berlalu tanpa aku menyadari apakah hak orang lain masih ada di tanganku atau tidak. Kalau ada, segera aku lunasi dan kusampaikan kepadanya.”

Sufyan diam dan tidak bisa menjawab penjelasan Imam Ja’far Ash-Shadiq. Dia keluar dengan hati yang “kalah”. Dia pergi ke tempat sahabat-sahabat sufinya dan menceritakan apa yang terjadi antara dia dengan imam Ja’far. Mereka berembug untuk menemui imam Ja’far beramai-ramai dan mendiskusikan hal tersebut.

Setelah sepakat, mereka datang dan berkata, “Sahabat kami tidak bisa menjawab Anda dengan dalil yang kuat. Kini kami datang untuk menjelaskan kepada anda alasan-alasan kami.”

“Katakanlah dalil-dalil kalian,” kata Imam Ja’far.

“Dalil kami adalah Al- Quran.”

“Apakah ada dalil lain yang lebih baik dari Al-Qur’an? Coba sebutkan, aku bersedia mendengarnya.”

“Ada dua ayat dalam Al-Quran yang kami ambil sebagai dalil untuk membuktikan kebenaran kami dan ajaran tarekat kami. Dan ini cukup bagi kami. Allah SWT memuji sekumpulan sahabat didalam Al-Quran, yakni firman Allah, ‘Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang-orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang-muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.’ (QS. 59:9). Dalam ayat lain Allah berfirman, ‘Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.’(QS.76:9).”

Ketika argumentasi para sufi itu sampai disini, seorang yang hadir berkomentar dari kejauhan, “Sejauh yang aku ketahui, kalian sendiri tidak mempercayai apa yang kalian ucapkan itu. Kalian hanya ingin agar mereka menjauhi harta benda mereka, lalu memberikannya kepada kalian, dan pada gilirannya kalianlah yang menikmati semua itu. Karena itu, tidak pernah tampak kalian menghindari makanan-makanan yang lezat!”

“Tidak ada gunanya engkau terburu-buru mengucapkan kata-kata itu,” Imam Ja’far menegur orang yang berkata tadi.

Lalu beliau menghadap para sufi dan berkata, “Pertama-tama, apakah kalian bisa membedakan antara muhkam dan mutasyabih, nasih dan mansukh yang ada dalam Al-Quran ketika kalian berargumentasi dengan ayat-ayat suci Al Quran? Kesesatan yang menimpa umat Islam ini adalah karena mereka berpegang pada suatu ayat, tanpa mengetahui pengertian yang benar dari Al-Quran.”

“Sebenarnya kami hanya tahu secara garis besar tentang ilmu Al-Quran ini, tidak terlalu sempurna,” mereka menjawab.

“Itulah letak kesalahan kalian. Hadis-hadis Nabi adalah juga seperti ayat-ayat Al-Quran: diperlukan pengetahuan dan pengertian yang sempurna. Ayat-Ayat Al-Quran yang kalian bacakan tadi, bukan merupakan dalil yang mengharamkan kita menikmati pemberian-pemberian Ilahi ‘Azza Wa Jalla. Ayat itu berkenaan dengan pengorbanan dan pemberian Infaq. Ayat itu memuji suatu kaum pada suatu masa tertentu, karena mementingkan orang lain lebih daripada mereka sendiri, dan memberikan hartanya yang halal kepada mereka.

Namun kalau mereka tidak melakukan semua itu, bukan berarti mereka telah berbuat ingkar dan dosa. Allah tidak mewajibkan mereka berbuat demikian, dan pada waktu yang sama juga tidak melarang mereka. Kaum Anshar berkorban dan mementingkan kaum Muhajirin berdasarkan rasa ihsan dan panggilan hati nurani mereka, karenanya Allah SWT akan memberikan ganjaran kepada mereka. Dengan demikian, ayat itu tidak membuktikan kebenaran dakwaan kalian, karena kalian melarang dan mencela orang-orang yang menikmati pemberian-pemberian dan harta-harta yang Allah telah anugerahkan kepada mereka.

Sahabat Nabi pada masa itu terlalu banyak menginfaqkan dan mengorbankan hak milik mereka, sampai turun wahyu Allah yang membatasi perbuatan mereka tadi. Wahyu yang datang kemudian memanshukhkan amal perbuatan mereka. Seharusnya kita mengikuti wahyu yang datang kemudian, bukan mengikuti asal perbuatan mereka sebelumnya.

Allah SWT, berdasarkan rahmat-Nya yang tersendiri dan kepentingan orang-orang mukmin, melarang seseorang menyengsarakan dirinya dan keluarganya dengan memberikan apa yang ada ditangannya kepada oang lain, karena dalam keluarganya terdapat orang-orang yang lemah, anak-anak kecil dan orang-orang tua yang tidak dapat memikul semua itu.

Seandainya aku memiliki beberapa keping roti, dan ku infaq-kan semuanya, sedangkan keluargakulah yang berhak menerimanya, maka mereka akan mati kelaparan.

Karena itulah Rasulullah saw bersabda, ‘Jika seseorang mempunyai beberapa biji kurma, atau beberapa kerat roti, atau beberapa keping dinar, dan berniat menginfaqkan, pertama-tama dia harus infaqkan kepada ayah dan ibunya, lalu dirinya, istri dan anak-anaknya kemudian keluarganya dan saudara-saudaranya yang mukmin, dan terakhir barulah amal-amal kebaikan dan amal-amal jariyah.’ Yang terakhir boleh dilakukan setelah memenuhi tiga yang pertama.

Ketika Nabi mendengar seorang Anshar wafat, meninggalkan anak-anak yang masih kecil, sedangkan hartanya yang tidak seberapa itu dia infaqkan di jalan Allah, beliau bersabda, ‘Kalau sebelum ini kalian beritahu aku, maka aku tidak akan memperkenankan dia dikebumikan di pekuburan orang-orang Muslim. Dia meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil-kecil, lalu ia buka tangannya untuk orang lain!!’

Ayahku Imam Muhammad al-Baqir meriwayatkan kepadaku sabda Nabi saw: ‘Utamakanlah infaq-infaq kalian mulai dari keluarga kalian menurut susunan yang terdekat. Mereka yang terdekat denganmu adalah mereka yang lebih berhak.’

Selain itu, nash Al-Quran melarang cara dan ajaran kalian. Allah berfirman, ‘(Orang-orang Mukmin) adalah orang-orang yang apabila menginfaqkan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir, dan adalah infaq itu ditengah-tengah antara yang demikian.’

Banyak ayat-ayat Al-Quran yang melarang berinfaq secara berlebihan sebagaimana melarang sifat bakhil dan kikir. Al-Quran telah menentukan batas tengah dan kesederhanaan dalam amal ini. Ia tidak membenarkan seseorang memberikan setiap yang dimilikinya kepada orang lain, dan membiarkan dirinya sendiri hidup dalam keadaan sengsara; kemudian mengangkat tangannya dan berdoa: ‘Ya Allah, limpahkanlah rezeki-Mu kepada hamba-Mu ini.’ Allah SWT tidak akan mengabulkan doa seperti ini.

“Rasulullah saw bersabda: ‘Allah tidak mengabulkan doa beberapa golongan yaitu:

1) Seseorang yang memohon kecelakaan bagi kedua orangtuanya;

2) Seseorang yang hilang hartanya karena dipinjamkannya kepada orang lain tanpa mempunyai saksi atau bukti, kemudian dia berdoa kepada Allah agar ditunjukkan suatu jalan lain yang dapat mengembalikan hartanya itu. Doa orang seperti ini tidak akan dikabulkan oleh Allah; karena jalan yang benar telah diselewengkannya sendiri, yaitu memberikan hartanya tanpa saksi dan bukti;

3) Seseorang yang memohon dari Allah agar dijauhkan dari gangguan sang istri. Sebabnya adalah, karena jalan keluarnya ada ditangan suami. Yakni, jika dia betul-betul merasa terganggu oleh si istri, maka dia bisa keluar dari suasana ini dengan menceraikannya, misalnya.

4) Seseorang yang berpangku tangan di rumahnya, lalu berdoa kepada Allah agar dilimpahkan rezki. Allah akan berkata kepada hamba yang tamak dan jahil ini, ‘Hambaku! Bukankah aku telah tunjukkan kepadamu jalan untuk mendapatkan rezki, yakni dengan bergerak dan berusaha? Bukankah telah kuberikan kepadamu anggota badan yang sehat; tangan, kaki, mata, telinga dan akal, semua telah Kuberikan untuk melihat, mendengar, berfikir dan bergerak? Setelah itu semua, masihkah kau hanya mengangkat tangan tanpa mau berusaha? Semua itu diciptakan pasti ada motivasi dan maksud tertentu dibaliknya. Cara yang terbaik dalam mensyukuri semua nikmat adalah dengan menggunakannya pada tempatnya. Berdasarkan hal tersebut, maka hujjah dan alasan-Ku telah sempurna, bahwa kau harus berusaha dalam mencari rezki, mematuhi perintah-Ku berkenaan dengan usaha ini dan tidak bergantung kepada orang lain. Kalau semua itu sejalan dengan iradah dan kemauan-Ku maka pasti akan Kuberikan rezki untukmu. Tapi kalau dikarenakan sebab-sebab atau masalah-masalah kehidupan, lalu kau tidak mendapatkannya, maka kau telah menjalankan usaha dan kewajibanmu dengan baik. Dalam hal ini kau akan dimaafkan oleh Tuhanmu.’

5) Seseorang yang telah mendapatkan harta yang banyak dari Allah, lalu habis disebabkan oleh infaq dan pemberiannya yang berlebih-lebihan, kemudian dia mengangkat tangannya dan berdoa, ’Ya Allah, limpahkanlah rezki-Mu padaku.’ Dalam jawabannya Allah akan berkata, ‘ Bukankah Aku telah berikan kepadamu rezki yang banyak? Kenapa kau tidak bersahaja? Bukankah telah Kuperintahkan kepadamu agar bersahaja dalam berinfaq? Bukankah telah Kularang berinfaq tanpa perhitungan dan berlebihan?’.

6) Seseorang yang berdoa untuk memutuskan tali silaturahmi.

Didalam Al-Quran, Allah SWT mengajarkan cara berinfaq yang benar, khususnya kepada Nabi saw. Suatu hari, Nabi saw memegang beberapa keping uang emas. Beliau mau menginfaqkan semuanya untuk fakir miskin karena tidak mau mempunyainya walau untuk waktu satu malam. Kemudian beliau menginfaqkannya dan diberikannya ke kanan dan ke kiri dalam satu hari. Esoknya, ada seseorang datang dan mendesak minta pertolongan dari Nabi . Beliau tidak memiliki apa-apa untuk diberikan kepada peminta ini. Karenanya beliau merasa sangat bersedih hati. Lalu turunlah ayat Al-Quran yang berkenaan dengan cara berinfaq, “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu, dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal”. (QS 17: 29).

Demikianlah hadis-hadis Nabi saw yang akurat dan didukung oleh ayat-ayat suci Al-Quran. Seorang yang betul-betul mukmin dan takwa niscaya akan beriman dan mengikuti isi kandungan ini.

Ketika Abubakar dalam keadan hampir menemui ajalnya, beliau ditanya tentang hartanya; apakah akan diwasiatkan atau tidak. Ia menjawab: “Seperlima dari hartaku kalian infaqkan, dan selebihnya adalah hak waris.’ Seperlima dari semua harta adalah jumlah yang tidak sedikit. Padahal seseorang yang berada dalam keadaan sakaratul maut berhak untuk berwasiat sampai sepertiga dari hartanya. Kalau Abubakar tahu bahwa infaq yang berlebihan adalah lebih baik dan terpuji, maka tentunya ia menggunakan haknya, yakni berwasiat sampai sepertiga dari haknya.

Kehidupan dan cara berinfaq Salman al Farisi dan Abu Dzar Al-Ghifari r.a. yang kalian kenal ketakwaan, kezuhudan dan keistimewaan mereka, membuktikan kebenaran kata-kataku ini.

Ketika Salman menerima saham tahunannya dari Baitul Mal, dia menyisihkan bagi keperluan dan perbelanjaanya untuk waktu satu tahun. Ia ditanya, ‘Engkau yang begini zuhud dan takwa, masih teringat untuk menyimpan uang untuk jangka waktu satu tahun? Bukankah hari ini atau esok engkau bisa saja meninggal dan tidak menjumpai akhir tahun ini?’

Salman menjawab, ‘Dan mungkin juga aku tidak mati! Kenapa kamu hanya memperhitungkan kemungkinan mati saja tanpa menghiraukan kemungkinan hidup?! Andainya aku hidup, aku telah mempunyai perbelanjaan dan bekal. Wahai orang-orang jahil! Kalian telah lupa pada segi ini, yakni: bahwa jiwa manusia akan malas dan enggan untuk taat kepada Allah, bahkan akan kehilangan semangat dan energinya pada jalan yang haq, jika dia tidak memiliki bekal hidup yang cukup. Namun kalau kebutuhannya terjamin, maka kehidupannya akan terasa tentram.’

Abu Dzar al-Ghifari r.a. mempunyai beberapa ekor unta dan kambing yang bisa dia perah dan minum susunya. Kadangkala beliau amat ingin memakannya, tapi jika beliau kedatangan tamu, atau ada orang lain yang memerlukan daging; serta merta beliau sembelih dan gunakan daging tersebut. Bila Abu Dzar ingin memberikan sesuatu kepada orang lain, maka beliau menyisihkan kadar yang sama untuk dirinya sendiri.

Manusia mana yang lebih zuhud dari mereka? Nabi telah bersabda mengenai mereka, yang tidak syak lagi, telah kalian ketahui semua. Mereka tidak pernah, dengan alasan takwa dan zuhud, melepaskan seluruh hak milik mereka. Mereka tidak pernah mengajarkan dan mengamalkan seperti apa yang kalian ajarkan, yakni agar setiap muslim meninggalkan setiap yang mereka miliki, dan membiarkan diri dan keluarganya dalam keadaan sengsara.

Aku ingin mengingatkan kalian pada suatu hadis yang diriwayatkan oleh ayahku, beliau meriwayatkan dari ayahnya sampai kepada Nabi saw. Nabi bersabda: ‘Sesuatu yang paling menakjubkan adalah keteguhan iman seorang mukmin dalam keadaan yang jika badannya diputus sepotong-sepotong dengan pisau, maka semua itu merupakan kebaikan dan kebahagiaan baginya. Dan jika kekuasaan Barat dan Timur diberikan kepadanya, ini pun merupakan kebaikan dan kebahagiaan baginya.’

Kebaikan seorang mukmin tidak seharusnya dalam lingkaran kefakiran dan kemiskinan. Kebaikannya berangkat dari hakekat iman dan aqidahnya dalam segala kondisi, apakah jatuh fakir dan miskin, atau kaya dan berkecukupan. Semua itu tidak mengubahnya untuk menjalankan kewajibannya dengan cara yang terbaik. Inilah yang dikatakan sebagai keadaan yang paling menakjubkan dari seorang mukmin dimana setiap kejadian, kesusahan atau kesenangan, baginya adalah baik dan membahagiakan.

Bagaimana, apakah ini cukup bagi kalian ataukah perlu kutambah? Tahukah kalian sejarah periode pertama datangnya risalah Islam, dimana jumlah kaum muslimin masih sedikit? Undang-undang jihad pada masa itu adalah: Setiap satu orang muslim wajib berdiri menghadapi sepuluh orang kafir. Siapa yang ingkar terhadap perintah tersebut adalah berdosa dan melanggar hukum. Namun kemudian diperoleh kemudahan-kemudahan yang lebih banyak. Melalui Inayah dan Rahmat-Nya, Allah meringankan peraturan itu sehingga menjadi: setiap Muslim hanya wajib menghadapi dua orang kafir, tidak lebih.

Aku bertanya kepada kalian tentang satu perkara yang berkenaan dengan hukum qadha, perundang-undangan dan mahkamah Islam. Andaikan salah seorang diantara kalian berada di mahkamah, dan didakwa dalam perkara nafkah kepada istrimu, apa yang akan engkau lakukan? Apakah engkau akan minta maaf dan mengatakan bahwa engkau adalah orang yang zuhud dan tidak menghiraukan lagi nikmat-nikmat duniawi? Apakah alasanmu itu dapat dibenarkan? Apakah dalam pandanganmu, keputusan hakim yang mewajibkan engkau memberikan nafkah kepada istrimu, merupakan suatu keputusan yang benar dan adil, atau keputusan yang lalim dan aniaya? Kalau engkau katakan bahwa keputusan itu adalah lalim dan tidak benar, maka jelas engkau telah berdusta dan telah menganiaya semua muslim melalui tuduhan yang ngawur ini. Dan kalau engkau katakan bahwa keputusan hakim itu adalah benar, maka alasanmulah yang keliru; dan konsekuensinya adalah bahwa tarekat dan ajaranmu adalah salah.

Ada beberapa perkara dimana kaum Muslim wajib atau tidak mengeluarkan infaqnya, seperti zakat atau kaffarah (denda). Andaikan kita definisikan zuhud sebagai menghindar dari kehidupan dan keperluan-keperluan hidup, dan andainya semua orang (mengikuti kemauan kalian) menjadi zuhud dan berpaling dari kehidupannya sehari-hari, maka bagaimana nasib infaq-infaq wajib seperti zakat dan kaffarah? Bagaimana pula nasib zakat-zakat wajib seperti emas, perak, kambing, unta, sapi, kurma, kismis dan lain sebagainya? Bukankah maksud yang tersirat dari pemberian infaq adalah agar orang-orang yang tidak mampu bisa hidup lebih baik, dan mereka bisa menikmati anugerah-anugerah Ilahi itu?

Inilah sebenarnya maksud yang tersirat dibalik penentuan hukum–hukum tersebut. Kalau motivasi agama adalah menjadi fakir, dan hidup dalam kesengsaraan adalah puncak tertinggi dari tarbiyah diniyah (pendidikan agama), itu berarti bahwa orang–orang fakir telah berhasil mencapai puncak tersebut, dan mereka tidak boleh diberi apapun agar tetap dapat dalam keadaan yang baik dan berbahagia. Pada gilirannya merekapun tidak boleh menerima setiap pemberian agar tetap dalam suasana mereka yang selalu berbahagia.

Kalau apa yang kalian ucapkan itu benar, maka selayaknya setiap orang tidak menyimpan harta. Apa yang ia peroleh harus ia infaqkan. Dengan demikian kewajiban membayar zakat tidak perlu ada lagi.

Maka jelas bahwa apa yang kalian anut dan sebarkan, adalah satu ajaran dan tarekat yang salah dan berbahaya. Dan ajaran ini berasal dari kejahilan dan ketidak pahaman kalian akan Al-Quran dan Hadis-Hadis Nabi Saw. Hadis-Hadis yang kupaparkan tadi tidak diragukan lagi kesahihannya; ayat-ayat suci Al-Quran sendiri mendukung kesahihan hadis-hadis tersebut . Sayangnya, kalian menolak hadis-hadis sahih yang tidak sejalan dengan ajaran dan pendapat kalian. Hal ini sebenarnya merupakan kejahilan lain yang ada pada kalian. Kalian juga tidak memahami secara mendalam ayat-ayat suci Al-Quran, juga tidak tahu membedakan antara nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih serta amar dan nahi.

Coba kalian jawab argumenku berikut ini mengenai kisah Nabi Sulaiman bin Daud a.s. Beliau mohon suatu kekuasaan dari Allah SWT yang tidak akan diperoleh oleh siapapun sepeninggalnya: ‘Dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku.‘ (QS. 38:35) Dan Allah memberikan kepadanya.

Nabi Sulaiman tidak menginginkan sesuatu kecuali yang haq. Dalam hal ini, baik Allah SWT atau orang-orang mukmin, tidak mencela Nabi Sulaiman as karena memohon kekuasaan yang begitu besar dari Allah. Begitu juga halnya dengan nabi Daud a.s. yang datang sebelumnya.

Dalam kisah Nabi Yusuf as, beliau berkata kepada raja: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir) sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan” (QS. 12:55). Akhirnya beliau menangani semua urusan yang terbentang luas dari Mesir sampai ke Yaman. Ketika paceklik menimpa seluruh pelosok negeri, semua penduduk dari berbagai belahan datang membeli perbekalan dan bahan-bahan pokok mereka. Ini tidak menyebabkan Yusuf lupa pada yang haq dan Allah pun tidak mencelanya di dalam Al-Quran.

Begitu juga dengan kisah Dzul Qarnain, seorang hamba yang cinta kepada Allah dan dicintai oleh-Nya. Kepada Dzul Qarnain, Allah memberikan kemudahan-kemudahan dan kekuasaan dunia, dari Barat sampai ke Timur.

Hai orang-orang sufi! Tinggalkanlah jalan yang tidak benar itu. Tunjukkanlah adab Islam yang sebenarnya. Jangan melampaui perintah dan larangan Allah, dan jangan pula mengurangi perintah-perintah-Nya. Jangan kalian ceburkan diri kalian ke dalam masalah-masalah yang kalian tidak ketahui. Tuntutlah ilmu-ilmu itu dari ahlinya. Kenalilah perbedaan antara nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih serta halal dan haram. Semua itu akan lebih baik dan mudah bagi kalian, serta dapat menjauhkan kalian dari kejahilan. Bebaskan diri kalian dari kejahilan, karena penyokong-penyokongnya terlalu banyak; sebaliknya, penyokong-penyokong ilmu pengetahuan sangatlah sedikit “.

Sumber:
Muthahhari, Murtadha. 1996. Kisah Sejuta Hikmah: Orang-Orang Bijak. Bandung: Pustaka hidayah

10 thoughts on “Dialog Imam Ja’far Dengan Para Tokoh Sufi”

  1. – Himbauan pada paragraf terakhir menurut saya berlaku untuk semua orang yang berusaha mengikuti ajaran Rasulullah.

    – Kalimat “Hai orang-orang sufi !” menurut saya berlaku juga untuk
    Hai orang-orang kaya !
    Hai orang-orang miskin !
    Hai orang-orang malas !
    Hai orang-orang kikir !
    Hai orang-orang pemburu harta
    Hai orang-orang pemburu jabatan
    Hai orang-orang pemburu popularitas
    Hai orang-orang yang suka mengemukakan pembenaran
    demi kepentingan dunianya
    ……..dan sebagainya

    – Sufi yang benar mestinya mengikuti ajaran Rasulullah,
    namun kata sufi pada paragraf terakhir telah disudutkan pada posisi yang lebih sempit, inipun kita harus hati-hati

    Terima kasih

    ————————–
    Terima kasih sudah ikut bertukar pikiran mas. Salam kenal 🙂

  2. Sufyan Tsaury adalah orang shalih dan Imam Ja’far juga seorang yang berilmu…
    Mereka yang melewati hari harinya dengan ilmu dan quran
    dengan beribadah dan beramal…
    Semoga Allah merahmati mereka..

    Dan aku masih disini..
    Terbang di ketinggian asa
    bahwa aku inginkan surga…
    dan jasadku tertinggal di bumi…

  3. kesimpulan yang dapat kita ambil juga dalam hal ini adalah jangan membaca dan memetik hikmah dalam AL’QURAN sepotong-sepotong karena akan menyalahi makna wahyu yang turun dari ALLAH SWT, karena setiap wahyu yang turun selali berkaitan degan wahyu selanjutnya dari setiap kejadian maupun kondisi pada saat diturunkan pakda Nabi Muhammad SAW, insya allah kita selalu dibukakan hati dan pikiran kita untuk selalu mempelajari Al-Quran dan Hidits Rasulullah, amin.

  4. Saya bukan seorang sufi, tapi tidak semua sufi seperti yang anda bayangkan, banyak melakukan bid’ah, menyimpang dari Al Qur’an dan Sunnah, dsb. Saya punya kenalan seorang sufi dari Malaysia yang bergaris nasab ke Rasulullah dan keturunan raja2 di Malaysia, dia bilang bahwa landasan yg paling utama adl Qur’an dan Sunnah.
    Memang ada golongan yang meninggalkan umat yang penuh musibah, lalu lari ke kawasan terpencil, dan meninggalkan usaha dakwah, untuk terus beribadah, tanpa memikirkan masalah umat, sedangkan dia bertanggungjawab melakukan pemulihan umat Islam dengan dakwah. Mereka inilah yang dikenali dengan golongan sufi pada dewasa ini, padahal hakikat sufi bukan begitu. Mereka merusakkan imej para sufi yang sebenarnya.
    Ada golongan ini yang meminggirkan diri karena lari dari masyarakat, dan berputus-asa dari rahmat Allah s.w.t. ke atas umat Islam itu, lalu meninggalkan usaha dakwah sedangkan mereka mampu. Makin jauh mereka bersembunyi, makin tinggi ganjaran yang mereka terima dari pengunjung yang menziarahinya! Ini satu pendustaan terhadap golongan sufi itu sendiri dan merusak nama baik sufi. Mereka meninggalkan majlis ilmu karena sibuk menanti kasyaf dan sebagainya, lalu membiarkan umat Islam semakin dalam kesesatan.
    Bahkan, mereka (sesetengah golongan awam dari kalangan sufi) mendakwa, guru mursyid merekalah yang pernah menyuruh mereka menjauhi umat Islam dan kemelutnya, sedangkan para mursyid yang kamil tidak pernah menyuruh mereka melakukan hal yang sedemikian, justru sebaliknya, para mursyid merekalah yang menyuruh mereka melakukan usaha dakwah dan islah. Lalu, mereka meninggalkan amanat yang disuruh oleh guru mursyid mereka sebelum ini.
    Sehingga, tasawwuf dan sufi dikenali umum pada hari ini, sebagai satu kelompok manusia yang terbuang.
    Lebih malang lagi, ada yang pergi beruzlah untuk menanti ilmu-ilmu hikmat, karena merasakan sekarang sudah zaman fitnah dan tidak perlu bercampur dengan masyarakat lagi. Golongan ini telah mengabaikan konsep tanggungjawab dalam Islam dan rasa persaudaraan sesama umat Islam, bahkan, jika penuntut ilmu dan ulama’ yang melakukan sedemikian, mereka telahpun mengabaikan amanah ilmu mereka. Sesungguhnya, neraca ilmu itu sendiri ialah dakwah..
    (http://mukhlis101.multiply.com/journal/item/162 http://mukhlis101.multiply.com/journal/item/80)

  5. Yg slalu sy ingat, ada pesan Imam Abu Hanifah, kurang lebih begini “Kebenaran adalah yang menentramkan hatimu”
    Saya merasa lega ketika ada yg menasihati saya,.. senanglah, tenanglah, pada tingkatan mana saat ini engkau berada,.. tetap khusyu’, biarlah dirimu berjalan semestinya, ta’ usah terburu-buru. Asalkan engkau ikhlas,.. biarlah Dia membimbingmu.

  6. assalamualaikum,saudaraku ‘ada dua bejana ilmu ( 1 ) ilmu yang di pelajari oleh umum nya orang islam : haram halal makruh yang ini sampai hari kiamat ngk ada hentinya

    ( 2 ) tassawuf yang ini perjalanan menuju sang haliq melalui proses dari ilmu yang pertama itu penganutnya di katakan sufi ,seorang sufi ada yang kerja keras ada juga yang agak santay dalam urusan dunia bahkan ada juga yang tidak rakus
    seperti saya dan orang orang yang maniak terhadap urusan dunia sampai menukar dan menjual akhiratnya untuk dunia
    seorang sufilah penyelamat ilmu alquran ajaran haq ,waktu raja hirakilus membunuh semua umat islam di irak ,dengan lantang berdiri diatas mayat2 islam ,jangan kita memojokan seorang sufi

  7. Dakwah bi al Hal jauh lebih mulia daripada memojokkan kaum sendiri. Sufi bukan berarti tak beriman, ingat itu! kita berbeda pada “CARA” penghambaan saja…….. dan itu wajar. kecuali kalau mereka tidak Shalat 5 waktu, maka wajib dimusuhi dgn cara yang “santun” pula.
    KETELADANAN jauh lebih mulia kawan!
    smgoa bisa difahami…..

  8. sufi sesungguhnya tidak pernah memerlukan pujianmu, apalagi hartamu, ketidaksejalananmu dengannya pun tidak akan membuat dirinya membencimu.لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

Leave a Comment