Iman menetralisir spektrum hidup

Ingatlah…
hanya dengan mengingat Allah, hatimu jadi tenteram!
(QS. 13: 28)

Emosi, pola pikir dan pola tindak manusia senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Seorang yang hari ini bahagia, esoknya sedih; pagi hari optimis tiba-tiba jadi pessimis dan pemurung sore harinya. Kadang-kadang terasa sayang dan terkadang merasa benci. Sirkulasi semacam itu selalu berputar-putar sejalan orbit kehidupan manusia itu sendiri.

Bila kita perhatikan kehidupan zaman sekarang ini, maka kita akan mendapati kenyataan bahwa kita, umat Islam, hidup dalam suatu situasai yang penuh kesukaran yang dengan sangat dahsyatnya menguji iman kita.

Dapat dengan mudah dijumpai macam ragam umat, mulai dari kelompok yang benar-benar tradisional, kelompok yang terombang-ambing antara nilai-nilai tradisional dan modern, kelompok yang modern namun masih dalam orbit Islam, hingga terakhir sekali kelompok yang sama sekali tak menganggap diri mereka sebagai anggota dunia Islam. Situasi semacam ini dapat menyebabkan seorang muslim kehilangan tempat berpijak yang kokoh baginya dalam mengarungi badai kehidupan yang selalu mengintip-intai, menunggu saat paling tepat buat merobohkan imannya.

Tinggal sekarang bagaimana manusianya itu sendiri mempergunakan segala potensi yang ada padanya dalam memilih jalan yang ingin ditempuhnya. Allah telah memberikan pada diri setiap manusia kebebasan berkehendak, menentukan pilihannya. Kendati pun demikian semuanya tetap akan dipertanggungjawabkan dalam Mahkamah Allah di Yauml Hisab kelak. Tentu akan merugilah mereka-mereka, yang dengan sengaja atau tidak, telah “salah pilih”,…!

Dan jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan pada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan. Sungguh beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya. (QS. 91: 7-10)”.

Apabila seseorang memilih kelezatan duniawinya yang berlebih-lebihan, mengikuti hawa nafsu fisiknya, tenggelam dalam kenikmatan inderawinya, dan lalai akan Allah yang telah menciptakan dan memeliharanya, maka ia tak obahnya bagaikan hewan, malah lebih sesat lagi (QS. 25: 43-44).

Lain halnya jika ia memilih jalan ketaqwaan, membumbung tinggi ke ufuk keutamaan, idealita manusiawi, dan amal shaleh; maka ia akan dikaruniai keberuntungan, ketentraman psikis dan kebahagiaan rohaniah.

Maka barang siapa yang mampu memadukan dan menyeimbangkan antara aspek jasmaniahnya dengan rohaniahnya dan sekaligus berhasil merealisasikannya dalam segala segi kehidupannya, dia telah dipandang berhasil dari ujian Allah tersebut. Dan meteran hidupnya akan menunjuk ke jalur hijau, hingga memang layaklah apabila ia memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat sebagai imbalannya.

Iman… kendali hidup!
Fungsi biologis tubuh kita sangat dipengaruhi oleh iman kita. Bagaimana itu bisa terjadi?

Dalam ilmu tubuh manusia, sebagaimana  dinukil oleh Dr. Muhammad Mahmud Abdul Kadir dalam bukunya “Biologi Iman” (penerbit Al-Hidayah, Jakarta, 1981) telah diketahui bahwa semua gerak dan kegiatannya, baik yang dipengaruhi kemauan atau tidak, merupakan serangkaian proses kimia tubuh. Organ tubuh yang melaksanakan tugas ini bekerja dibawah perintah hormon yang diproduksi oleh kelenjar hormon, yang dikomando oleh kelenjar hifopise, sang panglima tertinggi semua hormon. Kelenjar hipofise ini, yang besarnya tak lebih sebesar biji kacang dan memproduksi tidak kurang dari dua belas jenis hormon, adalah yang amat bertanggung jawab memberikan perintah pada kelenjar hormon untuk membuat hormon-hormon. Sebutlah ia “maestro” yang memimpin sebuah simfoni musik, dimana para pemainnya terdiri dari berbagai jenis hormon.

Sudah tentu sukses gagalnya tugas maestro ini akan ditentukan oleh materi lagu dan sang komponisnya.

Ternyata materi lagunya ditentukan oleh “gen”, sang pembawa sifat yang telah dibawa manusia sejak ia masih berbentuk zygot dalam rahim ibunya. Dialah yang berwenang membawa sifat seseorang menjadi pemberani, pengecut, penyayang, berandalan dan sebagainya. Gen ini dengan segala sifatnya yang serba kompleks itu tumbuh bersama kita dan selalu bersama kita dengan setia mengantarkan kita sampai ke liang lahat.

Tinggi rendahnya kadar hormon yang dikeluarkan tergantung pada intruksi-intruksi yang dikeluarkan gen ini, bersama-sama dengan jenis Asam Deoxy ribo Nukleat (ADN) yang terdapat dalam inti sel, di samping jua pengaruh lingkungan via sel-sel saraf dan kulit otak. Seluruhnya itu mempengaruhi emosi kita secara biologis.

Lalu… siapa dong komponisnya? Bagaimana dengan akal? Akal nyatanya juga tak lebih dari proses-proses biokimia yang terjadi dalam otak. Akal manusia tak mungkin berdiri sendiri, ia selalu berhubungan dengan adanya proses kimia otak. Semua gejala watak, emosi dan kejiwaan kita berkaitan erat dengan proses kimia ini. Kekejaman seseorang yang zalim, kedengkian manusia, kasihnya seorang yang sedang bercinta dan rahmatnya seorang mukmin, tidak lain dari pada hasil proses kimia otak.

Otak memang suatu laboratorium kimia organik yang amat pelik, materinya yang lembek -seperti adonan- selalu berproses tanpa henti-hentinya, walau kita sedang tidur. Namun bagaimana pun juga kita tak mungkin memisahkan akal dari materinya!

Pilihan akurat, menurut para ahli, adalah iman seseorang. Dialah komponisnya yang mampu membuat lagu menurut yang disukainya. Imanlah yang sanggup mengatur hormon dan selanjutnya membentuk gerak, tingkah laku dan akhlak manusia.

Maksudnya apa? Tak perlu dibuktikan lagi bahwa dalam diri setiap manusia, ada tiga daya jiwa yaitu rasa (feeling), rasio (kognisi) dan  karsa (kemauan). (QS. 16:73)

Secara de facto, realitanya, antara unsur pertama dengan unsur kedua sering timbul ketegangan, perbenturan. Maka saat-saat seperti itulah unsur ketiga penting sekali, ia akan bertindak sebagai wasit, pengendali, pendamai, pengambil keputusan. Keputusannya itu tak bisa diganggu gugat lagi, meski ada yang masih kurang puas salah satu diantara keduanya.

Unsur yang ketiga ini dibentuk oleh iman seseorang, tergantung manusianya itu sendiri. Dalam ajaran Islam manusia seluruhnya diarahkan menuju prinsip-prinsip iman yang digariskan oleh Yang Maha Benar, Allah.

Banyak sekali kita dapat temui ciri-ciri orang beriman, yang seluruhnya buat kesentosaan dan kebahagiaan umat manusia, dalam al Quran. Lain sekali dengan imannya kaum munafik apalagi orang-orang kafir. Landasan mereka rapuh dan terlalu lemah mempertahankan diri, hingga mudah patah.

Oleh karena itu manusia akan menghayati hidup bahagia jika terjalin erat perpaduan yang harmoni diantara ketiga daya jiwa manusia itu, sehingga terwujudlah insan-insan kamil yang perasaannya halus sekali, rasionya begitu tajam dan imannya tak tanggung-tanggung. Ketiganya berpadu kokoh, harmoni membawakan alunan kehidupan nan-diridhai-Nya. Triangular harmoni, namanya!

Islam senantiasa menganjurkan manusia supaya terus OLAH RASA, memperhalus perasaan (ihsan, akhlak, tasawuf dan dzikir); OLAH OTAK dengan ilmu, filsafat, fiqh dan pikir; dan memperkuat iman –taqwa, tauhid, dan ibadah.

Disamping itu juga dianjurkan melakukan perjalanan ruhani, melakukan peningkatan diri dari jiwa AMARAH (dimana rasa merajalela) ke JIWA LAWWAMAH, dimana rasa telah mulai didampingi oleh ratio, terus melaju menuju JIWA MUTHMAINNAH, jiwa yang tenang-tentram karena iman telah berhasil mengendalikan rasa dan rasio manusia. Allah akan menyeru pada jiwa yang muthmainah dengan segala keridhaan-Nya.

Sungguh tak terlukiskan betapa besar peranan iman dalam menata pribadi-pribadi mulia lagi agung. Orang yang senantiasa dalam lingkungan keimanan, dalam firdaus nur Allah, hatinya selalu kuat, pribadinya selalu terang yang senantiasa terefleksikan dalam sikap dan tindak tanduknya sehari-hari. Langkahnya demikian mantap, bathinnya begitu tenang mengagumkan, jiwanya sejuk melegakan, kehadirannya selalu didambakan setiap orang, dan… di sisi Allah pun ia peroleh kehormatan!

Dalam masyarakat beriman, tiap orang memperlihatkan kebaikan dan ketulusan dalam hidup pribadi maupun masyarakat luas. Setiap individunya memandang dirinya bertanggung jawab dan punya kewajiban terhadap masyarakatnya. Iman telah membuka pintu lebar-lebar buat jalan hidupnya, sekaligus memberikan pegangan keyakinan ‘ntuk melalukan segala Karenanya akan jarang kita temui mereka dalam kekalutan, kepanikan, frustasi, dikejar bayangan setan ketakutan, dan sebagainya. Relung-relung hatinya demikian tenang!

Sebaliknya seseorang yang jauh dari prinsip-prinsip iman yang telah digariskan Allah, tak lagi mengacuhkan asas moral dan etika, merobek nilai-nilai kemanusiaan dalam segala tindak perbuatannya, maka orang ini hidupnya dikuasai oleh syetan. Ia akan hidup di tengah kegelapan jiwa yang membawa kehancuran. Akibatnya…gangguan jiwa!

Baru-baru ini timbul berbagai aliran di kalangan ahli ilmu jiwa yang menegaskan akan pentingnya iman dalam kesehatan jiwa dan terapinya. Mereka bilang, keimanan pada Tuhan merupakan kekuatan yang luar biasa yang mampu menopang seseorang dalam mengarungi kehidupan, menanggung beratnya kehidupan, menghindarkan diri dari keresahan yang zaman kini banyak menimpa umat manusia, lantaran di dorong oleh kehidupan materi dan persaingan tak sehat meraih materi; padahal pada saat yang sama juga membutuhkan hidangan rohaniah. Inilah yang menyebabkan manusia modern kini mengalami berbagai tekanan dan ketegangan, jadi mangsa kesusahan, keresahan dan penyakit jiwa!

Seorang psiko-analisis, A. A Brill berkata, “Individu yang betul-betul religius tidak akan pernah sakit jiwa!” Ungkapan yang sama juga terlontar dari Carl G. Jung seorang psiko-analisis terkenal, Henry Link, William James dan lain sebagainya. Bahkan Arnold Toynbee pernah mengatakan bahwa krisis yang diderita orang-orang Eropa zaman modern ini pada dasarnya karena miskin rohaniah, dan terapi satu-satunya bagi derita yang sedang mereka alami adalah kembali pada agama!

Kini, kita bertanya dan renungkan sejenak “Apakah kita sudah betul-betul beriman sebagaimana yang telah diperintahkan Allah berulang-ulang dalam al Quran? Sampai sejauh mana kita melangkah menapakkan kaki kita menuju pintu-Nya? Bukankah tak jarang kita lari dan menjauh tatkala datang panggilan-Nya? Lalu…kapan lagi kita akan perbaiki… kalau bukan detik ini juga!

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keberuntungan dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. 6: 82)”

*** Penulis: Nilna Iqbal

3 thoughts on “Iman menetralisir spektrum hidup”

  1. Semoga kita menjadi orang yang senantiasa dibimbing oleh keimanan untuk dapat mengendalikan rasa dan rasio agar kita dapat terus bertahan ditengah derasnya arus kehidupan yang mengedapankan materi belaka sebagai ukuran kesuksesan seseorang.
    ——————-
    Benar mas. Harusnya iman yang jadi pengendali rasa dan rasio kita. Bukan sebaliknya rasio atau rasa yang jadi pengatur iman kita.

  2. mmmhh.. bener-bener ya jaman sekarang lebih jahilyah dari jahiliyah.. ada yang pengen jadi nabi sampai masuk tv, padahal kan semua muslim itu mengemban tugas Nabi Muhammad SAW, yaitu mengajak dan mencontohkan yang baik dengan pelaksanaan nya.. “Semoga kita semua di jauhkan dari sifat-sifat dan pikiran-pikiran buruk untuk merubah-rubah agama yang di ridhoi Alloh SWT ini” Amien.. Terima kasih.
    —————————-
    Salam kenal

  3. Perlukah manusia menyatakan (pengakuan) bahwa Allah itu adalah Awal dan Akhir? Tidakkah ini menandakan bahwa manusia itu “sombong”? Sebagai makhluk yang diciptakan, apa pentingnya pengakuan itu? Dan mana yang lebih baik, pengakuan atau penyerahan? Tapi, tidakkah kedua hal ini sifatnya sama? Tapi yang pasti, betapa manusia adalah makhluk lemah, merugi, sombong, zalim. Ketika menyadari bahwa segalanya adalah dari Allah, sungguh seperti mengalirnya sungai surgawi di hati
    Wallahualam.
    ————————–
    Menurut saya pengakuan itu penting sekali mas. Pengakuan datang dari mengenal-Nya. Lalu kemudian dengan sendirinya muncullah penyerahan diri kita total pasrah hanya kepada Allah. Karena itu, mengenal Allah SWT itu tentu sangat penting. Jangan sampai kita menyembah tuhan (huruf t kecil) yang kita anggap sebagai Tuhan (huruf T besar). Ada orang yang membayangkan ketika shalat ia sedang berada di hadapan tuhan (khayalan) nya.
    Salah satu contoh kurang kenalnya kita secara benar kepada Allah adalah, masih ragu-ragunya kita ketika kita berdo’a; jangan-jangan do’a kita nggak ada gunanya, nggak akan didengar Allah, dsb. Mengapa kita sampai merasa demikian? Suatu hari salah seorang sahabat Rasul (kalau saya tidak salah Imam Ali ra) ditanya, mengapa doa-doanya tak terkabul, lalu sahabat itu menjawab, “Engkau berdo’a kepada zat yang tidak engkau kenal sama sekali….”

Leave a Comment