Ketika Penundaan Menciptakan “Penjara”

oleh : Maya A Pujiati – Insight Area

Setumpuk pekerjaan menantang kita di setiap waktu. “Itulah bukti bahwa kita masih hidup”, begitu kata beberapa orang yang mencoba menghibur diri.

Bagi seorang ibu rumah tangga seperti saya, pekerjaan yang paling sering menumpuk adalah perabotan dan pakaian kotor. Sampai tak habis pikir, mengapa dua hal ini tak pernah ada habisnya. Terlebih, saya merasa bahwa tanpa solusi yang jitu, keduanya terlalu sering memenjarakan saya, membuat saya tak bisa melakukan pekerjaan yang lebih produktif, termasuk menemani anak-anak bermain. Ya, karena saya sudah terlalu lelah.

Semua sedikit berubah ketika suatu malam, sehabis sholat Isya, di bawah pengaruh dua gelas kopi yang saya minum pagi dan sore hari, saya membuka-buka buku yang agak aneh, Berpikir ala Einstein: Think like A Genius. Buku itu hasil coretan Todd Siler, seorang Doktor di bidang psikologi dan seni. Terima kasih untuk penerbit Kaifa yang sudah berani menerbitkannya di Indonesia.

Sebuah gambar pada halaman 103 buku itu, melukiskan 4 keadaan pikiran: pertama adalah TAK AKAN SELESAI, kedua TAK AKAN BISA SELESAI KALAU SEKARANG, ketiga TOH SUDAH TERLAMBAT UNTUK MENYELESAIKANNYA, dan yang keempat UNTUK APA MENYELESAIKAN APAPUN?. Paling menarik dari semua kata-kata tersebut adalah sebuah judul yang menegaskan ide besar gambar itu: MENUNDA ADALAH MENGISI WAKTU.

Sesuai ide dasar buku itu yang bercerita tentang manfaat bermetaforma atau membuat padanan terhadap segala sesuatu, maka saya pun mengumpamakan situasi pikiran itu dengan salah satu masalah saya, yaitu terpenjara oleh menumpuknya pekerjaan.

Tak ada sesuatupun yang terjadi, kecuali ada sebabnya. Mau tidak mau saya harus mengakui hal itu, termasuk dalam urusan perabotan kotor. Karena itulah, pagi sekali saya memaksakan diri untuk bangun dan langsung merambah wilayah kotor . Betapa berat memulai pekerjaan itu, punggung terasa dibebani berkilo-kilo batu bata. Tapi, saya coba menyeting pikiran lompat jauh ke depan, membayangkan bahwa dapur saya ini akan segera rapi dan bersih. Berbeda dari biasanya, kali ini saya bekerja dengan tujuan yang jelas, saya harus membuat sistem untuk mengatasi menumpuknya pekerjaan harian yang menyita energi untuk produktivitas lain.

Luar biasa, saya bekerja sejak jam 6 pagi: mencuci lap, piring, gelas sisa semalam, lalu berbelanja sayuran, memasak. saya bekerja sambil berpikir. Saya lupakan semua rasa ngilu di persendian yang mulai mengganggu. Saya sedang belajar untuk fokus, menuntaskan apa yang sudah dimulai, agar saya bisa memulai hal yang lainnya lagi. Fa idzaa faraghta fanshab, wa ilaa rabbika farghab.

Jam 12 siang semua pekerjaan selesai. Dapur saya rapi, saya pun memiliki cadangan bumbu untuk 3 sampai 4 hari yang siap pakai, dua buah waskom berisi air bersih, satu waskom kosong untuk perabotan kotor, satu mangkok kecil sabun yang siap pakai, kulkas yang bersih, sayuran yang sudah dicuci siap masak untuk 3 hari, ikan mentah yang sudah berbumbu untuk besoknya.

Tentu saja, untuk segala sesuatu yang kita mau, kita pun harus berani membayar harganya. Usai pekerjaan itu, badan saya sedikit menggigil, gemetar karena lelah. Teh panas dicampur lemon dan madu sedikit membantu. Tempat tidur adalah teman yang baik untuk keadaan itu. Saya merayakan keberhasilan sambil terbaring berselimut.

Konyolkah hal itu? Sesaat mungkin tampak konyol. Tapi, setelah saya ciptakan sistem pekerjaan dapur itu, setidaknya saya lihat suami saya pun mau mencuci piring atau gelas yang sudah dipakainya. Kini tak ada lagi tumpukan cucian kotor di dapur. Tahu dan yakinlah saya, bahwa MENUNDA adalah cara paling buruk untuk mengisi waktu. Saya tak mau lagi terpenjara karena menunda-nunda.

sumber:
http://lifeword.wordpress.com/2008/02/03/ketika-penundaan-menciptakan-penjara/

Leave a Comment