Masa Depan Keluarga Kita (bag-2, habis)

Siklus hidup kita saat ini sedang mengalami akselerasi. Kita tumbuh lebih cepat, meninggalkan rumah lebih segera, dan kawin lebih dini.

“Kita memperkecil jarak berbagai peristiwa itu dan merampungkan periode sebagai orang tua secara lebih cepat,” kata Dr. Bernice Neugarten, seorang spesialis perkembangan keluarga dari Universitas Chicago.

Kekuatan yang kelihatan paling besar kemungkinannya akan menggoncangkan keluarga dalam dasawarsa mendatang adalah dampak teknologi kelahiran yang baru. Kemampuan untuk menentukan terlebih dahulu kelamin bayi, bahkan “memprogramkan” IQ-nya, wajahnya, dan ciri kepribadiannya, kini harus dianggap sebagai suatu kemungkinan yang nyata. Penanduran embrio, bayi yang hidup invitro, kemungkinan untuk dengan minum pil saja pasti akan mendapat anak kembar dua atau tiga, atau bahkan kemungkinan untuk memasuki sebuah “babytorium” dan benar-benar membeli sebuah embrio, semua ini demikian jauh melampaui pengalaman manusia, sehingga perlu melihat ke masa depan dengan mata seorang penyair atau pelukis, bukan dengan mata seorang sosiolog atau filsuf konvensional.

Apabila seorang “ibu” dapat memadatkan proses kelahiran menjadi suatu kunjungan singkat ke pusat perdagangan embrio, atau dengan memindahkan embrio dari rahim yang satu ke rahim yang lain (dan ini melenyapkan kepastian sejak zaman kuno bahwa mengandung anak memerlukan waktu sembilan bulan), maka anak-anak yang akan tumbuh dalam suatu dunia yang siklus keluarganya, yang dulu berjalan begitu tenang dan pasti, kini melonjak-lonjak tanpa irama.

Kemajuan ilmu dan teknologi reproduksi itu dalam sekejap telah menghancurkan semua gagasan ortodoks mengenai keluarga dan tanggungjawabnya. Kalau bayi dapat hidup dalam stoples laboratorium, apa jadinya dengan makna keibuan itu sendiri? Dan apa jadinya dengan citra diri wanita dalam masyarakat, yang sejak awal kejadian manusia mengajarkan kepadanya bahwa tugas utama wanita adalah menyebarluaskan dan melestarikan umat manusia?

“Siklus kelahiran,” kata Dr. Hyman G. Weitzen, ahli psikiatri dan Direktur Pelayanan Neuropsikiatris pada Polyclinic Hospital di New York, “untuk kebanyakan wanita merupakan pemenuhan kreatif yang utama…. Kebanyakan wanita bangga akan kemampuan melahirkan anak …. Nur khusus yang bersinar dari setiap wanita hamil telah banyak sekali dilukiskan dalam seni dan sastra di Timur maupun di Barat.”

“Apakah yang akan terjadi pada pemujaan keibuan,” tanya Weitzen, “jika keturunannya bukan benar-benar dari darah dagingnya sendiri, namun berasal dari telur genetis yang unggul dari wanita lain, yang ditandur ke dalam rahimnya, atau bahkan telah dibesarkan dalam cawan petri?”

“Jika wanita ingin punya arti,” katanya, “sekarang ini bukan lagi karena hanya mereka saja yang dapat melahirkan anak. Paling tidak, kita sedang menghapus mistik keibuan.”

Tidak hanya konsep keibuan (motherhood), tetapi konsep kebapaan (parenthood) mungkin juga akan menghadapi perombakan radikal. Akan segera tiba saatnya bahwa seorang anak bisa mempunyai lebih dari dua orang tua biologis. Dr. Beatrice Mintz, ahli biologi perkembangan pada Fox Chase Cancer Center, Institute for Cancer Research di Philadelphia, Pennsylvania, telah mengembangkan sesuatu yang dikenal sebagai “multitikus”, yakni bayi tikus yang mempunyai jumlah induk-bapak yang lebih dari biasanya.

Embrio diambil dari dua ekor tikus yang hamil. Kedua embrio ini ditempatkan dalam cawan laboratorium dan dipelihara sampai membentuk satu massa tunggal yang tumbuh. Kemudian massa ini ditandurkan ke dalam rahim tikus betina ketiga. Seekor bayi tikus pun lahir dan jelas sekali memiliki karakteristik genetik kedua pasangan donornya.

Dengan demikian maka seekor multitikus yang dilahirkan dari dua pasang induk-bapak, dapat berbulu dan berkumis putih pada satu sisi mukanya, berbulu dan berkumis hitam pada sisi muka yang lain, dengan garis hitam dan putih berselang-selang pada tubuh selebihnya. Sekitar 700 multitikus yang ditangkar secara begini telah melahirkan lebih dari 35.000 keturunan. Pertanyaannya, jika multitikus telah ada, akan lamakah “multimanusia” menyusul?

Definisi orang tua, berubah?

Bila seorang wanita, dalam rahimnya, mengandung embrio yang telah dibuahi dalam uterus wanita lain, siapakah ibu yang sebenarnya? Apakah si ibu yang memiliki “membuahinya”, ataukah ibu yang mengandungnya? Dan juga akan ada pertanyaan, siapa pula ayahnya?

Jika suatu pasangan suami istri, nanti di suatu masa kelak, benar-benar dapat membeli sebuah embrio, definisi keibu-bapakan akhirnya hanya menjadi masalah hukum, bukan lagi masalah biologis.

Tanpa pengawasan ketat, transaksi demikian dapat menimbulkan hal yang fantastis, seperti sepasang suami istri yang membeli embrio, lalu membesarkannya invitro, lalu membeli embrio lain atas nama (anaknya, yaitu embrio-pertama). Dalam hal itu, mereka secara hukum dapat dianggap “kakek-nenek”, bahkan sebelum “anak” nya melampaui masa kanak-kanaknya. Saat itu barangkali kita akan memerlukan kosa kata baru untuk menggambarkan segala pertalian kekerabatan seruwet ini.

Lagi pula, kalau embrio dapat diperjualbelikan, bolehkah suatu perusahaan membelinya? Bolehkah membeli sepuluh ribu buah? Dan jika bukan perusahaan, bagaimanakah bila yang melakukan itu sebuah laboratorium penelitian yang non-komersial? Jika kita membeli dan menjual embrio hidup, apakah kita kembali ke suatu bentuk perbudakan yang baru?

Demikianlah, semua bayangan ini datang bagai mimpi buruk di siang hari. Akankah ia terjadi? Orang tua biologis telah berbagi tugas dengan orang tua professional. Tapi orang tua biologis pun sedang terguncang definisinya. Wah, wah, wah….!

***

3 thoughts on “Masa Depan Keluarga Kita (bag-2, habis)”

  1. Segala sesuatunya bisa saja terjadi di masa depan, setiap kemungkinan itu selalu ada, termasuk tentang skenario “Masa depan keluarga kita” dalam tulisan ini.
    Dalam skenario ini dipaparkan dengan jelas kerumitan, kerancuan dan kekacauan tentang konsep keluarga di masa depan yang dikarenakan pengaruh pesatnya perkembangan teknologi kelahiran semisal “babytorium” .
    Tapi saya yakin bahwa manusia itu pada dasarnya adalah mahluk bijak. Apakah dia mau mengikuti skenario di atas kalau sekarang saja dia mengerti dampak negatifnya lebih mengancam terhadap nilai2 kemanusian itu sendiri.
    Sepertinya skenario di atas cuma di atas kertas saja. Ya seperti skenario akan terjadinya perang nuklir di era perang dingin antara blok barat (Amerika) dan blok timur Uni Sovyet) di masa lalu, cuma sekadar prediksi yang tidak pernah terjadi.
    There wont be such things like that.
    Just enjoy the life then!
    —————–
    Selama umat manusia masih memelihara “fitrah kemanusiaannya” saya juga yakin, skenario di atas nggak bakalan terjadi, kecuali hanya sebagai “solusi” bagi sebagian keluarga yang punya “masalah”.

  2. Saya setuju dengan pendapat Raisa. Kita tidak perlu khawatip pada skenario itu. Pada dasarnya penerapan teknologi banyak bergantung pada kebutuhan terlebih pada nilai-nilai yang banyak dianut masyarakat. Dulu kita sudah sering mendengar tentang keberhasilan teknologi bayi tabung. Tapi itu tidak menjadi gejala massal. Praktek bayi tabung hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu karena alasan medis yang tertentu pula. Sampai sekarang tidak menjadi mode.
    ——————
    Yang patut kita khawatirkan juga adalah ketika mulai menggejala keinginan sebagian orang untuk “tidak mau direpotkan oleh keberadaan anak-anaknya”, atau “tidak mau direpotkan oleh kehamilan”. Bila fenomena ini menguat, yang diiringi pula oleh “dekadensi iman dan kemanusiaan” … bisa jadi akan mulai bermunculan “solusi-solusi” baru yang “mengerikan”. Mudah-mudahan ini benar-benar tidak terjadi ya.

Leave a Comment