Memahami takdir, mari kita diskusikan

Salah satu rukun iman yang wajib kita pegang teguh adalah beriman kepada qadha dan qadhar. Sebagian lagi mengatakan beriman kepada takdir baik maupun takdir buruk.

Pernah seorang teman mengeluh saat ia mendapat cobaan berkali-kali. “Mengapa ya Tuhan tidak bersikap adil kepada saya? Sampai sekarang saya masih saja menderita. Takdir saya buruk sekali! Mengapa Tuhan tidak kasihan kepada saya?”

Saat itu saya tidak mau menjawab persoalan yang tidak mudah ini. Saya hanya katakan agar ia bersabar terhadap ujian Allah SWT itu. Mudah-mudahan itu akan menjadi kafarat atas berbagai dosa dan jadi tabungan baik di akhirat kelak.

Namun tetap saja ia tidak puas dan masih tetap mengeluh, “Saya sudah lakukan semua perintah Allah. Setiap hari saya berdoa agar saya dilepaskan dari berbagai derita. Namun tetap saja Allah tak mendengar dan tak mau mengabulkan do’a saya.”

Bagaimana Anda menjawab persoalan pelik ini?

Ini memang bukan teka-teki hidup yang mudah kita pahami. Banyak rahasia Allah SWT yang tidak bisa ditembus oleh ketinggian pengetahuan dan teknologi manusia. Apa arti dari semua peristiwa kehidupan ini? Mengapa tiba-tiba turun bencana besar yang menghabiskan segalanya dan menewaskan ribuan manusia? Mengapa Amerika dan Israel yang menguasai dunia? Mengapa orang jahat lebih kaya dan lebih sejahtera hidupnya, sementara orang-orang baik dan suci menderita? Mengapa koruptor besar itu dibebaskan? Mengapa perbuatan baik kita tidak mendapat ganjaran sepadan? Mengapa para Nabi bisa dibunuh? Mengapa mereka tidak menang saja? Apakah Tuhan tidak menolong mereka?

Pasti banyak pertanyaan-pertanyaan besar seperti itu yang susah untuk bisa kita jawab. Sebelum saya melanjutkan diskusi ini, saya ingin mendapat masukan Anda semua, para pembaca.

Silakan berkontribusi ya!

Sambil menunggu pendapat yang lain, saya coba kutip satu masukan menarik tentang apa itu takdir, yang saya peroleh dari buku “Anak, Antara Kekuatan Gen dan Pendidikan”, karangan Prof. Muhammad Taqi Falsafi.

Disitu diambil sebuah ilustrasi tentang seseorang yang mencoba menjatuhkan dirinya dari atas sebuah gedung bertingkat tinggi ke sebuah batu marmer yang keras. Orang tua itu berkata, “Kalau memang sudah ditakdirkan mati, maka saya akan mati. Dan jika ditakdirkan hidup, pasti saya akan tetap hidup.”

Menurut Prof. Falsafi, sungguh orang ini telah keliru besar memahami persoalan takdir. Katanya, Allah SWT telah mempunyai takdir-takdir paksaan dalam masalah ini dan juga punya takdir ikhtiar di sisi yang lain.

Adapun takdir paksaan dalam masalah ini adalah:

1. Qadha dan qadar Allah telah menjadikan marmer sebagai batu keras dan kuat

2. Tengkorak kepala manusia diciptakan (berdasarkan qadha dan qadar Allah) dari tulang yang lembut dan berpotensi untuk pecah.

3. Qadha dan qadar Allah telah menetapkan adanya hukum gravitasi yang akan membuat benda jatuh ke tanah.

4. Qadha dan qadar Allah memutuskan bahwa setiap orang yang melemparkan diri dari ketinggian ke tanah yang keras, niscaya tulangnya akan hancur berantakan dan otaknya berhamburan keluar.

5. Qadha dan qadar Allah juga memutuskan bahwa setiap manusia harus mati ketika otaknya hancur.

6. Qadha dan qadar Allah jua telah memutuskan bahwa manusia mempunyai kehendak dan ikhtiar/pilihan. Ia bisa menjatuhkan dirinya lalu mati, atau menahan diri untuk tidak melakukan bunuh diri itu, lalu turun menuruni tangga dengan selamat.

Lalu beliau mengutip satu riwayat dari Ibnu Nabatah, bahwa Ali bin Abi Thalib kw, pernah pada suatu hari berpindah dari satu tembok ke tembok yang lain. Para sahabat menegur beliau, “Wahai Amirul Mukminin, apakah Anda lari dari qadha Allah?” Imam Ali menjawab, “Saya lari dari qadha Allah menuju qadar Allah Azza wa Jalla.”

 

Leave a Comment