Memaknai Kehidupan

Awal musim dingin 1942. Para penguasa Austria di Vienna menangkap dan menahan ratusan orang Yahudi. Diantara mereka ada seorang psikiater muda bernama Viktor Frankl. Saat itu Frankl adalah seorang tokoh yang lagi naik daun karena mengembangkan sebuah teori baru tentang kesejahteraan psikologis.

Menghadapi penangkapan itu, ia dan istrinya, Tilly, telah mengantisipasi. Mereka berusaha keras menjaga apa yang menjadi miliknya yang paling penting. Sebelum polisi sampai di rumahnya, Tilly menjahit ke dalam lapisan jaket Viktor sebuah manuskrip buku yang ia tulis tentang teori-teorinya.

Viktor memakai jaket itu ketika pasangan tsb dikirim ke Auschwitz. Hari pertama lolos. Namun, hari kedua, penjaga SS melucutinya, melepas semua pakaiannya. Sejak itu ia tak tahu lagi dimana manuskripnya.

Tiga tahun kemudian, di Auschwitz dan kemudian di Dachau, ketika istri, saudara, ibu dan bapaknya tewas dalam tungku gas, Frankl berusaha untuk menciptakan kembali teksnya dengan menggoreskan catatan-catatan di atas potongan-potongan kertas yang dicurinya.

Dan tahun 1946, satu hari setelah tentara sekutu membebaskan kamp-kamp konsentrasi, lembaran-lembaran kertas yang kusut itu membentuk apa yang kemudian menjadi sebuah karya yang paling berpengaruh dan abadi pada abad yang lalu, bukunya, Man’s Searching for Meaning.

Dalam buku itu Frankl melukiskan bagaimana ia dengan gigih menghadapi kerja yang sangat berat, penjaga-penjaga yang sadis, dan makanan yang tidak cukup. Bahkan, buku tsb tidak hanya sekedar cerita perjuangan hidup untuk pembacanya, tapi Buku itu sekaligus telah menjadi jendela untuk melihat jiwa manusia dan petunjuk pada kehidupan yang penuh makna.

Frankl berkesimpulan bahwa, “perhatian utama manusia bukanlah pada perolehan kesenangan atau menjauhi rasa sakit, namun  lebih tepatnya, untuk melihat sebuah makna dalam kehidupannya.”

Dorongan kita yang paling mendasar, mesin motivasi yang memperkuat keberadaan manusia, adalah mencari makna. Frankl dan yang lainnya berupaya untuk menemukan makna dan tujuan bahkan dalam keadaan yang sangat menakutkan dari sebuah kamp konsentrasi!

***

Gerakan kehidupan kita yang begitu cepat dan serba tergesa-gesa dewasa ini, memang jadi sebuah tantangan tersendiri. Kita jadi sering lupa atau tidak punya waktu lagi “mencari makna hidup” kita di dunia ini. Lalu kita pun luput menanyakan apa “tujuan kehadiran” dan missi-hidup kita di alam fana ini.

Tentu kita tak perlu menghadapi peristiwa kejam, musibah yang tak tertahankan, atau mengalami berbagai penderitaan hidup, seperti halnya Frankl dulu, baru kita mulai mencari makna kehidupan. Kita bisa memulainya sejak sekarang. Mungkin memang perlu dengan “sedikit latihan”.

Maknai Dengan Menuliskannya

Menulis apa yang kita alami, bisa menjadi salah satu cara kita memaknai kehidupan. Syaratnya menulislah secara bebas. Tuliskan semuanya, ibarat “nge-print” semua yang terpikir dan terasa. Menulislah dengan asumsi tidak untuk dipublikasikan, tidak untuk dinilai, tidak untuk dikritisi. Biarkan ia tidak bagus, tidak enak. Menulislah hanya untuk diri Anda sendiri. Biarkan gerakan tangan berjalan tanpa bisa dihentikan. Biarkan perasaan yang menggerakkan. Biarkan kata demi kata akan meluncur tanpa jeda.

Ketika semua yang ingin disampaikan sudah habis, bacalah. Itulah ungkapan jujur yang keluar dari seluruh diri kita. Akan ditemukan banyak sekali makna-makna yang  mungkin tak terpikir sebelumnya.  Tak mustahil bahkan masalahnya jadi “selesai” begitu tulisan itu berakhir. Paling tidak, emosi yang begitu meluap bisa mereda. Amarah jadi senyap. Hati pun mulai tenang.

“Kita dilahirkan untuk mencari makna, bukan kesenangan, kecuali kesenangan yang terendam dalam makna,” ujar Jacob Needleman.

“Anda tidak akan menemukan makna kehidupan yang tersembunyi di bawah sebuah batu yang ditulis orang lain. Anda hanya akan menemukannya dengan memberikan makna kepada kehidupan dari dalam  diri Anda sendiri,” kata psikoterapis Dr. Robert Firestone.

1 thought on “Memaknai Kehidupan”

Leave a Comment