Menolong orang lain dengan uang yang haram, bolehkah?

Orang itu sangat popular di kalangan orang-orang awam. Dia dikenal seorang yang saleh, penuh takwa dan sangat religius.

Disetiap tempat, orang-orang awam menyanjung kebesaran dan keagungannya, dan kerap kali mereka memperbincangkannya di majlis Imam Ja’far Ash-Shadiq.

Imam jadi tertarik untuk melihat “orang besar” yang disanjung–sanjung ini dari dekat, tanpa sepengetahuan orang-orang lain. Lalu dengan sembunyi-sembunyi beliau pergi ke tempat orang tersebut. Diperhatikannya para pengagumnya, yang terdiri dari lapisan masyarakat awam, mengelu-elukannya di sekitarnya. Sesuatu yang amat menarik dari orang ini adalah sikap dan tingkah lakunya dalam memperdayakan orang-orang awam.

Ketika dia berpisah dan berjalan seorang diri, secara perlahan Imam membuntutinya dari belakang. Beliau ingin melihat kemana orang ini pergi, apa yang dilakukannya, dan amal apa yang dibuatnya sehingga menarik perhatian orang-orang awam. Tak lama kemudian, terlihat orang ini berdiri di depan sebuah toko roti. Dia melihat orang tersebut mengambil dua keping roti, lalu disembunyikannya dibalik jubahnya dan pergi.

Imam berpikir, mungkin dia telah membelinya dengan kesepakatan akan membayarnya di kemudian hari, atau juga mungkin sudah dibayarnya sebelum itu. Tapi, pikir Imam lagi, kenapa dia ambil roti itu ketika penjualnya sedang tidak ada?

Imam pun mengikutinya terus sampai beliau melihat sekali lagi orang itu berdiri didepan toko buah-buahan. Sekilas mata penjualnya terlengah, secepat kilat pula dia mengambil dua buah delima, lalu disembunyikan di balik jubahnya dan pergi.

Imam bertambah heran. Apalagi ketika disaksikannya orang itu mengunjungi orang sakit lalu menghadiahkan roti dan delima kepadanya.

Setelah itu, Imam menghampirinya. Imam berkata, “Hari ini kulihat kau melakukan sesuatu yang aneh.” Lalu Imam menceritakan semua yang dilihatnya, dan meminta penjelasan darinya.

Dipandangnya wajah Imam baik-baik, lalu ia berkata: “Apakah kau Ja’far bin Muhammad?”

“Ya, aku Ja’far bin Muhammad,” jawab Imam.

“Sebenarnya kau adalah cucu Nabi, yang mempunyai silsilah yang mulia, tapi sayang kau terlalu jahil dan bodoh.”

“Sifat jahil apa yang kau lihat ada pada diriku?” Imam bertanya.

“Dari pertanyaanmu, jelas sekali bahwa kau tidak mengetahui perhitungan sederhana dalam urusan agama. Bukankah Allah telah berfirman: ‘Barang siapa yang melakukan satu amal kebajikan, maka Allah akan membalasnya dengan sepuluh kebaikan pula.’ Dalam ayat lain Allah berfirman: ‘Barang siapa yang melakukan kejahatan, maka dia tidak akan dibalas kecuali dengan satu dosa yang serupa.’

Maka menurut perhitungan, dua keping roti yang kucuri, akan dihitung sebagai dua kesalahan, dan dua buah delima yang kucuri, juga akan dihitung sebagai dua kesalahan, maka jumlah seluruh kesalahanku adalah empat kesalahan.

Tapi disisi lain, dua keping roti dan dua buah delima itu aku sedekahkan di jalan Allah. Karena itu aku berhak mendapatkan empat puluh pahala kebajikan. Nah, kalau dihitung dengan perhitungan yang sangat sederhana, maka pahala yang aku terima adalah empat puluh dikurangi empat, yakni tiga puluh enam. Kau lihat bahwa aku telah mendapatkan pahala bersih tiga puluh enam pahala. Inilah perhitungan sederhana yang kukatakan tidak kau ketahui.”

“Semoga Tuhan melenyapkanmu,” kata Imam Shadiq. “Engkaulah yang jahil, yang membuat perhitungan menurut perasaan. Apakah kau tidak mendengar firman Allah, ‘Sesungguhnya Allah hanya menerima amal dari orang-orang yang bertakwa?’

Sekarang, dengan hitungan yang sangat sederhana, cukup untuk membuktikan kekeliruanmu. Kau sendiri sadar bahwa kau telah melakukan empat dosa. Sekarang kau telah berikan hak orang lain dengan nama sedekah.

Akibatnya bukan hanya kau yang tidak mendapatkan pahala, justru kau telah melakukan dosa lain dengan melibatkan orang lain yang tidak tahu. Maka berarti, empat dosa pertama ditambah dengan empat dosa terakhir, hasilnya adalah delapan dosa; dan kau tidak berhak mendapatkan satu pun pahala kebajikan dari Allah SWT.”

Mendengar penjelasan Imam Shadiq, wajah orang itu menunjukkan kemarahan. Dengan tenang Imam pun meninggalkannya.

Ketika beliau menyampaikan cerita ini kepada sahabat-sahabatnya, beliau berkata, “ Interpretasi yang jahil dan cetek terhadap agama seperti ini mengakibatkan sebagian orang tersesat, dan juga menyesatkan orang lain.”

Leave a Comment