Pekerjaan di rumah itu tak mengenal gender

Alhamdulillah, hari ini sedang berjalan pelatihan terbaru yang saya kelola, yaitu Pelatihan Dokumentasi dan Presentasi Citra Audio Visual yang di organize oleh Keynote Speaker Indonesia, di Hotel Grand Preanger, Bandung selama 3 hari, sampai besok.

Sebenarnya bidang ini tidak saya kuasai. Untuk membuat konsep bisnisnya saya harus belajar cukup banyak mempelajari potensi pasar, pesaing dan diferensiasi konsep produk yang akan ditawarkan. Setelah mempelajari 2 bulan, dan konsepnya sudah cukup matang, saya pun bismillah saja. Kami tawarkanlah konsep ini ke beberapa instansi dan perusahaan. Alhamdulillah, ternyata sambutannya luar biasa juga, walau pricenya cukup tinggi yaitu Rp. 2,9 juta per orang.

Istri saya ternyata tertarik juga, pengen ikutan. “Tapi gratis ya,” pintanya. Dia pengen sekali bikin video tutorial untuk pembelajaran anak-anak. Minatnya untuk pendidikan anak-anak memang luar biasa. Banyak inovasinya yang menurut saya “mestinya sudah dipublish”  tapi belum. Mungkin belum waktunya …

Jadilah kini giliran saya yang ngurusin anak-anak. Kami memang sering berganti peran. Kami rasa pilihan seperti itu yang terbaik. Kami tak mau ada pembantu atau babysitter yang mengurus anak-anak kami yang masih kecil-kecil. Kami tahu betapa berbahayanya memberikan “pendidikan usia dini” kepada orang lain yang mungkin tidak terlalu berpendidikan, dan tidak punya kasih sayang kepada anak kami. Kami tidak rela, otak anak-anak kami “di-install” oleh babysitter yang kadang tak menyadari bahwa apapun yang ia lakukan akan ditiru oleh anak-anak kami.

Itulah salah satu alasan mengapa saya lebih memilih “ngantor” di rumah, dengan memindahkan semua operasi bisnis kami keluar rumah, termasuk karyawan dan perangkat operasional mereka. Buat saya, sampai anak-anak saya baligh, biarlah saya “mengalah” untuk tetap bersama mereka, membina mereka, menyayangi mereka dengan kehadiran kami orang tuanya, di tengah beragam aktivitas hidup mereka.

Sebab itu saya tak sungkan untuk memperlihatkan kepada mereka bagaimana saya, ayahnya, juga mau mencuci baju mereka, menyuapi mereka, memandikan mereka … kecuali satu, memasak (nah ini saya belum bisa, he he). Saya menganggap kegiatan itu sebagai salah satu pelajaran in-action buat mereka bahwa pekerjaan di rumah itu tidak mengenal gender.

Saya masih banyak melihat para bapak yang nyuruh-nyuruh istrinya ngambilin minum, masakin mie, ambilin sepatu, dan entah apa lagi … Emangnya itu tugas para wanita? Mengapa? Apakah karena itu tugas orang rumah? Padahal apa susahnya untuk melakukannya sendiri.  Ya kan?

Yang lebih sedih lagi, kalau pekerjaan seperti itu saya lakukan misalnya, yang memarahi saya justru orang tua saya, bahkan termasuk ibu saya. Katanya, “Kamu kok mau?” Lalu keluarlah berbagai tausiah nasehat bagaimana seharusnya seorang lelaki di dalam rumah tangga.

Tapi itu dulu. Kini kedua orang tua saya sudah paham, ketika saya ceritakan kepada mereka bagaimana perilaku Rasulullah SAW yang sangat menghargai istri-istrinya, bahkan membiarkan dirinya terkurung di luar rumah (tak bisa masuk) karena pulang sudah terlalu larut malam. Beliau tak ingin mengganggu istrinya yang sedang tertidur lelap. Saya ceritakan juga bagaimana Imam Ali Kw membantu berbagai pekerjaan istrinya di rumah, dsb.

Ah udah dulu ya … ntar lanjut lagi. Anak-anak sudah manggil saya. Pengen “bongkar sepeda” katanya.

Leave a Comment