Ternyata Perasaan Tenang Itu Juga Berbahaya

Ada satu persoalan yang akhir-akhir ini mengganggu saya. Tanpa saya sadari, selama ini saya telah terbuai oleh kesibukan sehari-hari dan merasa tenang-tenang saja dengan urusan agama. Urusan yang sangat penting sebenarnya. Hari ini barulah saya “ngeh” ternyata perasaan tenang itu sangat berbahaya. Bagaimana tidak? Karena merasa aman, saya pun lengah terhadap mara bahaya. Karena merasa terlindungi, saya pun kurang berjaga-jaga. Karena merasa benar, saya pun jarang bertaubat. Karena merasa udah menjalankan ibadah rutin, saya pun jarang menyucikan diri.

Apakah Anda juga pernah mengalaminya? Entahlah, yang jelas, biasanya perasaan seperti ini memang tidak disadari secara sengaja.

Tapi mari kita mencoba merenung sejenak. Mari mari kita menelaah apa yang selama ini tanpa sengaja telah kita percaya dan kita lakukan secara otomatis begitu saja? Pernahkah kita mempertanyakan paradigma-paradigma yang selama ini kita pegang teguh? Apakah paradigma kita itu sudah benar? Mempelajari secara mendalam keyakinan-keyakinan kita? Mempertanyakan kebenaran ibadah-ibadah kita? Memeriksa kembali sikap-sikap mental kita?

Ah itulah memang masalahnya. Kita nggak sempat lagi. Sibuk oleh rutinitas kantor, urusan kuliah, cari uang, mengurus anak dan istri. Setiap hari berlalu dalam lingkaran yang sama dan mesin kehidupan itu terus berputar-putar meninabobokkan kita sampai akhirnya tak kita sadari, umur kita udah makin tua.

Tanpa saya sengaja secara sadar, jangan-jangan sebenarnya selama ini saya beragama itu hanya ikut-ikutan saja, mewarisi kebiasaan-kebiasaan yang telah dilatih sejak kecil. Saya merasa terpukul sekali tak mampu menjawab pertanyaan ini. Apakah saya benar-benar mengenal Allah SWT? Seberapa banyak yang saya tahu tentang Tuhan? Apakah ketika saya shalat, saya membayangkan “wajah” Tuhan? Wajah seperti apa yang dibayangkan? Jangan-jangan selama ini setiap saya shalat sebenarnya saya tengah menyembah Tuhan yang berbeda, Tuhan yang kita reka!

Ketika mengucapkan “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin“, apakah saya mengucapkannya datar, cepat atau mungkin sambil menguap? Adakah perasaan bahwa saat itu sedang berada di hadapan-Nya, dan memohon, “Hanya pada Mu ya Allah kami beribadah, hanya kepada Mu ya Allah, kami memohon pertolongan.” Apakah benar itu permintaan saya? Mengapa rasanya biasa-biasa saja?

Ketika mengakhiri shalat, saya pun mengucap salam, “Assalaamu’alaika  ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wabarakatuh“. Mengapa saya tak menyadari bahwa saat itu saya sedang mengucapkan salam kepada baginda Rasulullah SAW, yang saat itu juga pasti beliau membalas salam saya? Bukankah saat itu tengah berada dalam sebuah majlis yang dihadiri oleh Rasulullah saw dan ruh-ruh suci lainnya? Mengapa saya abaikan pertemuan-pertemuan indah itu?

Ya Allah, sungguh selama ini kami telah banyak menzalimi diri kami.

Tapi mengapa kok saya masih tetap saja merasa tenang? Seolah-olah sudah yakin sekali bahwa akhir dari hidup yang singkat ini pastilah surga? Kenapa saya begitu yakin? Apakah karena sudah melakukan shalat 5 waktu, puasa di bulan Ramadhan, naik Haji, berzakat, melakukan amal-amal shaleh, lalu kita merasa tenang dan yakin bahwa Allah ridha dengan kita?

Saya kira perasaan tenang yang seperti inilah yang memang amat berbahaya. Karena kita segera akan terjebak pada dosa yang sangat besar, yang bisa menghapuskan amal-amal shaleh kita. Muncullah perasaan takjub pada diri sendiri, kagum dengan seluruh amal yang sudah kita lakukan dan merasa jauh lebih baik dari orang-orang kebanyakan. Jatuhlah kita pada ‘ujub.

Lalu saya coba membaca beberapa buku tentang ujub ini. Ujub (al-‘ujub) secara bahasa berarti kagum. Masuk ke dalam bahasa Indonesia muncullah kata takjub. Menurut kamus bahasa Arab Munjid, ujub adalah suatu keadaan kejiwaan yang sewaktu-waktu dapat kita ketemukan dalam diri kita. Umumnya memiliki beberapa indikator atau tanda-tanda tertentu, antara lain sombong, takabur, menolak dikritik orang, serta menganggap diri kita paling baik.

Al-Fahri menerangkan, ujub dalam aqidah, berarti kita merasa memiliki akidah yang paling benar. Orang lain yang berbeda akidah dengan kita dianggap sesat. Ujub dalam akhlak, berarti kita merasa bahwa akhlak kita jauh lebih mulia daripada akhlak orang lain. Dan ujub dalam amalan kita merasa bangga dengan amal-amal kita dan benar-benar bersandar pada amal itu. Kita yakin dengan amal itu kita dapat masuk surga.

Ternyata, ketiga jenis ujub seperti itu bisa menghancurkan amal-amal kita dan menghilangkan seluruh pahala dari amal kita.

Firman Allah SWT, “Katakanlah, apakah akan Kami kabarkan kepada kamu tentang orang-orang yang paling merugi amal perbuatannya? Itulah orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, tetapi mereka mengira mereka telah melakukan kebaikan. …… maka hapuslah amalan-amalan mereka dan kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi amalan mereka pada hari kiamat.” (QS. Al-Kahfi ayat 103 – 105)

Jangan-jangan saya termasuk orang beriman yang mengira dengan iman dan amal saat ini saya sudah merasa cukup. Itulah sebabnya saya pun merasa tenang. Jangan-jangan di dalam bawah sadar saya ada perasaan bahwa saya benar-benar sudah beribadah kepada Allah, berbuat banyak untuk Allah, sudah berbuat baik kepada Allah Ta’ala, lalu mengira dengan amal shaleh itu merasa memiliki hak atas Allah SWT. Nauzubillah min dzalik! Mungkin itu pula sebabnya kita sering mempertanyakan, “Mengapa doa-doa saya tidak dikabulkan Tuhan?!!” Seolah-olah Tuhan berkewajiban memenuhi doa dan hajat-hajat kita!!! Betapa sering, ketika kita berdoa kita “memberi perintah” kepada Tuhan! Dan Tuhan berkewajiban memenuhinya.

Sungguh betapa banyak kebodohan yang kita perbuat selama ini. Bahkan untuk berdoa saja kita pun tak pernah belajar dengan benar. Bahkan lebih parah lagi, betapa jarang kita mengucapkan nama-Nya dalam desahan napas kita. Betapa jarang kita memohon taubat dan memohon ampun dari segala dosa. Seolah-olah kita ini sudah benar-benar suci.

Janganlah kamu anggap dirimu suci. Allah mengetahui yang paling takwa diantara kamu.” (QS. An- Najm : 32)

Padahal Rasulullah SAW yang sungguh-sungguh secara nyata sudah disucikan Allah, betapa beliau senantiasa beristighfar kepada Allah. Diriwayatkan pada suatu malam, Ummu Salamah terbangun dari tidurnya. Ia mendengar Nabi Muhammad sedang istighfar sambil menangis di sudut kamar. Ummu Salamah bertanya, “Wahai Nabi Allah, mengapa engkau harus menangis dan merintih seperti itu padahal Allah telah menyucikan dirimu?”

Nabi menjawab, “Bukankah aku belum menjadi hamba yang bersyukur …”

Dalam salah satu doanya, Rasulullah saw berkata, “Ya Allah, aku belum mengenal Engkau dengan pengenalan yang sebenar-benarnya. Aku belum beribadah kepada-Mu dengan ibadah yang sebenar-benarnya.”

Ach! Sungguh malu sekali rasanya. Mengapa kita masih bisa tenang-tenang saja?

1 thought on “Ternyata Perasaan Tenang Itu Juga Berbahaya”

  1. Ass.wr. tulisannya bagus-bagus mas.. minta ijin ngelink kesini ya… thank you..

    —————–
    Sungguh, ini benar-benar sebuah kehormatan bagi saya dikunjungi Mas Safak. Saya sering mengikuti sepak terjang mas Safak. Terus berkarya dan berkembang Mas. Salam 🙂

Leave a Comment