Semakin Cerdas, Semakin Panas

“Kalau Einstein lagi berpikir keras
maka ia pun terserang demam…….!”

Sensasi ini selalu ditiup- kobarkan oleh beberapa suratkabar, tatkala ahli fikir Fisika Matematika ini mulai ramai diperbincangkan orang. Namun bagi para fisiolog dan psikolog, hal itu tidak begitu mengejutkan.

Banyak para pemikir yang tekun, cepat menjadi panas dalam pekerjaannya. Siswa-siswa yang cerdaspun, badannya lekas panas, ketika perhatian telah tertumpu sepenuhnya pada suatu persoalan baru yang menarik hatinya. Makin pintar, makin panas. Makin Bodoh, makin dingin………!

Timbul pertanyaan, apa yang akan kita lakukan seandainya ternyata badan tak mau panas dengan sendirinya, sewaktu menghadapi suatu pekerjaan? Perlukah digosok-gosok terlebih dahulu seluruh permukaan badan supaya panas ? Ataukah pasrah begitu saja menerima kenyataan pahit bahwa memang kita ini bodoh seumur hidup dan dingin?

Berbagai jawaban dilontarkan orang. Tapi jawaban-jawaban tersebut sarat dengan berbagai kekecualian. Ada memang orang yang idiot, otaknya beku dan dingin. Tapi, disamping itu juga banyak orang yang hanya “merasa” lalu percaya saja bahwa mereka tidak akan bisa lagi panas, padahal belum pernah mencobanya.

Walter B. Pitkin dalam bukunya “U Kunt Veel Dan U Denk” (Bagaimana melipatgandakan kesanggupan anda) menawarkan satu alternatif, yaitu “Warming Up”. Tujuan utama pemanasan ini ialah menajamkan perhatian. Ini berarti, membuang segala pikiran yang dapat mengganggu, yang mungkin timbul dari aktivitas sebelumnya. Saat itu terjadilah “penyetelan” pikiran diarahkan lebih tajam dan perhatian lebih terpusat. Mata mulai diarahkan, letak dan sikap kaki, lengan, tangan dan jari-jaripun diatur. Pikiran tertuju dan menuju pada pekerjaan yang baru itu. Segala “ide mendadak” ditunda terlebih dahulu, karena itu akan membuyarkan konsentrasi. Tahan diri untuk tidak melakukan “hal hal kecil”, seperti mencari-cari buku referensi, penggaris, dan sebagainya. Kan bisa disiapkan sebelumnya? Pendek kata, bersikaplah bagai prajurit yang tengah bertarung di medan pertempuran. Tiada alasan untuk permisi sebentar menjemput bedil yang tertinggal dimarkas, sementara bayonet telah mengancam didepan hidung.

Persoalan yang tampaknya sederhana ini ternyata juga menarik perhatian E.B. Skaggs, seorang guru besar dari College of Detroit. Bukan luar biasa bila kemudian ia mencurahkan segala perhatiannya terhadap persoalan ini selama tiga tahun. Dan, sebagai hasilnya, inilah sarannya: Bila anda pada dasarnya sukar dan lambat menyesuaikan diri (kurang adaptif) dengan suatu tugas tertentu, maka usahakan mengasyiki pekerjaan tersebut agar anda cepat menjadi panas. Begitu pula, sebelum anda memulai pekerjaan, sebaiknya istirahatkan dulu otak barang sebentar, daripada nanti harus menunda pekerjaan akibat letih. Kelelahan bakal menyita segenap perhatian dan konsentrasi anda. Kemudian bila anda bekerja kurang bersemangat, tak ada kemauan, tahanlah diri untuk terus bekerja . Jangan beri kesempatan untuk “mengiyakan” perasaan malas tersebut. Dengan bekerja terus berarti anda menambah kapasitas diri sendiri. Dan, yang lebih penting, pekerjaan anda semakin lancar.

Bukan monopoli Orang Jenius

Badan yang panas tentu disebabkan pembakaran tubuh yang sedemikian cepat sehingga arus syaraf pun dipercepat. Pada suhu biasa kecepatan itu kira-kira 135 meter per detik. Tapi jika badan didinginkan sedemikian rupa hingga syaraf boleh dibilang tidak bekerja sama sekali, lalu diukur kecepatannya dengan memanaskannya berangsur-angsur, setiap kenaikan 10 derajat Celcius arus itu menjadi dua kali lebih cepat. Dengan kata lain, kenaikan temperatur satu derajat, arus syaraf akan dipercepat 10%.

Kenyataan ini sangat penting artinya. Terutama menyangkut kegiatan yang serba rumit, berpikir-keras, misalnya. Si pemikir boleh dibilang harus menempuh ribuan meter urat syaraf sebelum mencapai inti pemecahan persoalannya. Tata syaraf pusat mengandung berbiliun-biliun sel. Semuanya mempunyai cabang-cabang yang panjang nya mencapai beberapa meter, disamping berbiliun-biliun sel lainnya yang mempunyai cabang lebih pendek.

Untuk memecahkan masalah yang mudah semisal membagi angka 5.677 dengan 13, misalnya, diperlukan kiriman arus sepanjang beberapa ribu meter serabut syaraf. Orang tua yang tangkas, terbiasa dan berpengalaman, membutuhkan waktu lebih sedikit ketimbang yang kurang cerdas. Percobaan yang telah dilakukan di Jerman makin membuktikan hal ini. Bahkan dalam rapat perhimpunan Elektrokimia, O.H. Caldwell mengucapkan kata-kata, “Di kemudian hari kelak, pemanasan elektrik dari otak manusia akan menjadikan kita malaikat-malaikat!” Namun, tampaknya ini masih angan yang terlalu muluk.

Sayang sekali, kita kurang banyak yang menyadari kekuatan yang ada dalam diri kita sendiri. Yang kita kenal baru sedikit dari realitas yang sebenarnya. Sebetulnya patut kita berbangga dan bersyukur kepada Allah SWT atas kemampuan yang ia anugerahkan pada diri kita. Otak kita kini ternyata mampu menampung informasi 2,5 juta kali lebih banyak dari komputer terbesar didunia sekalipun.

Ada sedikit lagi pertanyaan lain. Apa sebenarnya perbedaan kita dengan tokoh-tokoh jenius seumpama Einstein dan kawan-kawannya itu? Dr. Rudolph Wagner, membuktikan bahwa otak kita hampir semuanya sama. Jadi sesungguhnya tak ada perbedaan teknis antara otak Anda dan otak Albert Einstein. Yang memang kurang kita miliki adalah keinginan belajar dan berfikir yang menyala-nyala, seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang jenius itu. Dan lagi pula sebetulnya kreativitas itu bukanlah hanya milik segelintir pribadi-pribadi seperti Mozart, Rembrandt, Newton, dan Einstein saja. Kita semua juga memilikinya kok. Sayangnya kita tak mengaktifkannya. Bagaimana menurut Anda?

*** by : Nilna Iqbal

5 thoughts on “Semakin Cerdas, Semakin Panas”

Leave a Comment