Ibrahim as dihadapkan pada dua pilihan berat: mengikuti perasaan hatinya dengan menyelamatkan anaknya Ismail as ataukah mentaati perintah Allah swt dengan mengorbankannya.
Dialah yang engkau sayangi, buah-hatimu, sumber kebahagiaanmu, yang memberikan alasan kepadamu untuk terus hidup, yang memberikan arti kepada eksistensimu, puteramu itu.
Ismail mu itu – seperti seekor domba, robohkanlah dia dan korbankan dia!
Wahai Hamba Allah yang patuh! Inilah kehendak Allah untuk engkau lakukan. Inilah yang diminta oleh keyakinanmu. Inilah inti wasiat yang engkau sampaikan, wahai manusia yang bertanggung jawab. Wahai ayah Ismail! Inilah kewajiban yang harus engkau laksanakan!
Ibrahim harus memilih. “Cinta” dan “kebenaran” berperang dalam batinnya.Cinta yang merupakan hidupnya, dan kebenaran yang merupakan agamanya.
Seandainya yang diperintahkan Allah adalah ia mengorbankan dirinya sendiri … maka tidak sulit baginya untuk menentukan pilihan.
Nabi Ibrahim telah mempertaruhkan nyawanya demi Allah dan kenyataan inilah yang menyebabkan ia merasa telah menaati Allah. Tetapi perasaan yang seperti itulah yang merupakan sikap mementingkan diri sendiri dan kelemahan dirinya. Ibrahim adalah manusia yang paling hampir kepada Allah.
Wahai Ibrahim! Pasrahkanlah Ismail mu itu!