Apakah pengamatan dapat dipercaya?

Benarkah langit itu biru,
Pegunungan itu hijau, dan darah itu merah?
Betulkah air laut itu asin dan gula itu manis?

Apakah air itu cair, es itu padat?
Dan apa betul satu hari itu 24 jam,
dan satu tahun itu dua belas bulan?

Warna Itu Apa?
Kalau pada sebuah prisma kaca kita lewatkan seberkas cahaya surya, cahaya itu akan terurai menjadi tujuh warna: merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan violet. Apakah benar itu yang kita sebut warna?

Kalau kita pelajari apa sebenarnya warna-warna itu, maka kita menemukan bahwa yang kita lihat itu bukanlah warna dalam arti yang sesungguhnya. Itu hanya perbedaan panjang gelombang atau perbedaan frekuensi. Misalnya, warna biru. Ia berada pada panjang gelombang sekitar 4.500 Angstrom atau 45 per sejuta centimeter. Sebab itu, maka kita tak kan mampu “melihat” gelombang itu sebagai gelombang apa adanya, juga tak bakal sanggup merasakan getaran itu sebagai getaran apa adanya. Sewaktu gelombang cahaya sampai ke mata kita, sel-sel syaraf di selaput mata terangsang oleh bermacam getaran ini dengan cara yang berlainan, sesuai dengan jenis getaran yang masuk. Lalu otak kita atau lebih tepatnya pusat syaraf mata, dengan “bahasa”-nya yang khas, menerjemahkan berita dari syaraf ini dalam bentuk tanggapan-tanggapan, yang lalu kita sebut warna.

Jadi sebelumnya “otak” kita sendirilah yang mendefinisikan semua itu. Maksudnya agar kita bisa membedakan antara satu getaran dengan getaran lainnya. Lalu oleh manusia disepakati, kalau panjang gelombang dan frekuensi getaran itu sekian Angstrom, maka warnanya ‘anu’. Sementara kalau frekuensi sekian Angstrom, warnanya beda lagi.

Langit cerah yang sehari-hari kita lihat biru, sebetulnya bukan berarti langit itu punya warna biru. Menurut laporan para astronot, jika seseorang berada di luar atmosfer bumi, langit tidak lagi nampak biru, tapi justru hitam. Sedangkan bumi, kalau dilihat dari “atas sana” akan tampak bagai bola yang diselubungi lapisan warna kebiru-biruan. Birunya langit ini ada kaitannya dengan penyerapan (absorpsi) dan penghamburan cahaya matahari oleh atmosfir Bumi.

Bagaimana dengan pegunungan yang selalu kita lihat berwarna hijau? Sama saja. Pada hakikatnya, gunung-gunung itu tak punya warna. Proses yang terjadi, dedaunan tumbuh-tumbuhan menyerap semua panjang gelombang cahaya matahari, kecuali yang mempunyai panjang gelombang tertentu (sekitar 5.000-an Angstrom). Cahaya matahari yang punya panjang gelombang sebesar itulah yang kemudian dipantulkan ke mata kita. Lalu ia mempengaruhi sel-sel mata, dan otak pun bekerja. Lantas disebutlah warnanya hijau, sesuai kesepakatan kita.

Begitu pula dengan warna-warna lain yang kita lihat setiap hari. Semuanya itu hanya kesepakatan indera dan ‘otak’ kita saja.

Manis, Asin, Pedas, Pahit…
Lantas bagaimana hakikat yang berlaku pada “rasa”? Tak jauh beda. Sifat manis, asin, pedas, masam, pahit, dan sebagainya…sebenarnya bukan sifat mutlak yang ’lengket’ pada gula, cabe, garam, asam, dan benda-benda lainnya. Ia sangat tergantung pada syaraf perasa yang ‘bermukim’ di lidah kita. Dan memang struktur dan komposisi molekul-molekul gula, cabe, asam, dan garam itu masing-masing beda. Pengaruh itulah yang kemudian dikirimkan via syaraf perasa kita ke pusat syaraf otak yang dengan segera menerjemahkannya sesuai ‘bahasa’ kesepakatan manusia. Dengan demikian manusia tidak akan bingung dalam membedakan antara satu rasa dengan rasa yang lain.

Inilah salah satu karunia Allah kepada kita, manusia. Hingga Alhamdulillah kita bisa mencicipi isi “dunia”.

Air, Es, Uap…Sama Saja
Kini kita melangkah pada pertanyaan selanjutnya. Betulkah air itu cair? Es itu padat…dan uap itu gas? Kalau air kita masak, misalnya, ia akan berubah menjadi gas (uap air). Sebaliknya kalau didinginkan, ia menjadi es padat. Apa yang terjadi sesumgguhnya?

Tatkala air kita panaskan, partikel-partikel yang ada di dalamnya akan bergerak lebih cepat, berpisah, dan bertebaran ke segala arah. Satu sama lainnya saling menjauh. Saat itu air yang kita panaskan akan berubah menjadi uap air. Kita katakan, wujudnya gas. Sebaliknya bila ia kita dinginkan terus menerus, gerak partikelnya akan semakin lambat. Kemudian masing-masing saling mendekat, sampai suatu batas tertentu, akhirnya ia berubah menjadi es padat.

Jadi sebetulnya tak ada beda antara air, uap gas ataupun es padat. Masing-masing memiliki unsur dan susunan kimia yang sama. Yaitu sama-sama terdiri dari Hidrogen dan Oksigen dengan perbandingan atom, dua berbanding satu. Yang membedakan hanyalah jauh-dekatnya jarak masing-masing partikel. Sedang bendanya, ya tetap itu-itu juga.

Hakikat Waktu Kita
Kini, kita sampai pada persoalan berikutnya. Bertahun-tahun kita yakini, satu tahun terdiri atas 12 bulan, satu bulan 28 sampai 31 hari, satu hari 24 jam, satu jam 60 menit dan satu menit 60 detik. Tapi benarkah begitu pada hakikatnya?

Einstein pernah mengatakan, waktu hanyalah pengertian manusia terhadap perpindahan-perpindahan simbolik dari “tempat”.

Waktu yang kita gambarkan sebagai jam, hari, bulan dan tahun itu tak lebih hanyalah istilah-istilah yang melukiskan peredaran Bumi di sekitar sumbunya dan peredarannya mengelilingi Matahari. Satu tahun adalah satu kali perputaran penuh Bumi mengedari Matahari. Satu bulan adalah satu kali perputaran Bulan mengelilingi Bumi. Dan satu hari adalah satu kali perputaran penuh Bumi berputar pada porosnya sendiri.

Arloji yang kita pakai pun merupakan gambaran dari perpindahan tempat, yaitu perpindahan jarum dari angka ke angka di atas plat arloji. Dalam hal ini jam-jam itu diakurkan dengan peredaran sistem matahari.

Oleh sebab itu jika kita ingin mengikuti waktu maka kita harus mengikutinya dengan memakai tempat. Perpindahan zaman kita jelaskan dengan perpindahan tempat.

Kalau kita katakan si Anu bertambah besar maka sebetulnya yang kita maksud adalah umurnya atau tubuhnya.Kalau kita mengatakan ‘waktu isya’ maka yang dimaksud adalah kedudukan Bumi terhadap Matahari pada posisi tertentu. Kata-kata hari, bulan, tahun semuanya itu adalah tanda-tanda yang menunjukkan kedudukan Bumi dan Bulan dalam orbitnya sewaktu bareng mengelilingi Matahari.

Andai Siput Punya Kesadaran…
Mau tak mau, semua kita akhirnya akan sampai juga pada kesimpulan, ternyata seluruh pengamatan inderawi kita amat relatif. Semu.

Alam yang kita lihat bukanlah alam yang sebenarnya, melainkan semata-mata istilah yang kita definisikan sendiri secara aklamatif. Di dunia seperti itulah kita hidup, terkekang oleh rumusan-rumusan yang kita ciptakan sendiri.

Kita telah menjadi tawanan indera kita sendiri, tawanan dari konstruksi tubuh kita yang lemah. Semua yang kita lihat selalu dibawa kepada kita dalam keadaan cacat, kurang dan belum lengkap.

Andaikata siput juga punya kesadaran, maka dunia yang dilihat siput tentu sama sekali beda dengan dunia kita manusia. Organ syaraf siput sama sekali berbeda dengan organ syaraf manusia. Siput melihat matahari dengan caranya yang lain. Siput melihat pohon tidak seperti kita melihatnya. Siput belum bisa membedakan warna-warna. Yang jelas dia punya cara tersendiri, yang sampai sekarang kita masih belum mengerti.

Demikian pula binatang-binatang lain. Cacing akan melihat alam ini dengan caranya sendiri, dan menanggapinya dengan caranya sendiri pula. Bagi cacing Ascaris dunia ini gelap, dunia ini kosong, tak ada pemandangan. Yang ada hanya penginderaan yang sangat sederhana melalui kulit.

Demikianlah, tiap makhluk punya dunianya sendiri. Masing-masing hidup dalam penjara imajinya. Ia tak kan bisa mengetahui dunia yang dilihat oleh makhluk jenis lainnya.Kita sebagai manusia tak dapat berbicara dengan burung atau reptil atau cacing atau serangga. Sayang sekali kita pun tak dapat menceritakan kepada mereka betapa indahnya alam ciptaan Tuhan yang kita lihat ini. Begitu juga sebaliknya, kita tak mungkin bisa menerima pesan-pesan cacing tentang dunianya. Sayangnya kita belum bisa berkomunikasi dengan mereka. Mereka belum pandai tulis baca. Kalau pun diajar, mereka tak mengerti apa-apa.

Akibatnya kita saling bisu merahasiakan isi ‘dunia’ kita.
Yah, begitulah alam tak mudah diajak bicara. Ia masih tegar dalam selimut misterinya. Ketika kita melihat sesuatu, yang kita lihat bukan saja tak sempurna, malah kita sendiri kadang tak melihatnya. Bahkan bukan tak mungkin, apa yang kita tengok malah tak ada ujudnya sama sekali.

Ketika kita melihat sebuah bintang di langit malam, misalnya. Bintang itu berjarak sekian juta, atau katakanlah sekian ribu tahun cahaya. Bukankah itu berarti kita sebetulnya hanya melihat “masa lalu” bintang itu? Sekarang, entah ada bintang itu entah tidak, kita tak tahu. Mungkin sudah ambruk, atau meledak, hancur entah kemana.

Ya, kita memang sering tersilau oleh kilatan yang sebetulnya tak berujud apa-apa. Ah, sampai sebegitu jauhnya keterbatasan indera kita selama ini? Lantas, mengapa ia terlalu kita agung-agungkan, sampai-sampai “menuhankannya”!

Tuhan Ada Dimana?
Begitulah. Mau tak mau, kita harus akui, pengamatan manusia memang lemah. Kemampuan manusia terlalu ‘kecil’ buat menyelusuri teka-teki alam semesta yang maha misterius ini. Baru setitik ilmu yang kita dapati, kita miliki. Itupun atas karunia Sang Pencipta sendiri.

Dan seandainya pohon-pohon di Bumi menjadi pena dan laut jadi tintanya, kemudian ditambahkan lagi padanya tujuh laut lagi sesudah keringnya…niscaya tak kan habis-habis kalimah Allah. Sungguh Allah itu Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. 31: 27)

Masih terlalu banyak yang belum kita ketahui, kita sadari dan kita amati. Apapun yang kita amati di alam semesta ini, sangat bergantung pada kehadiran cahaya dan mata kita sendiri. Tak mungkin terjadi penglihatan tanpa ada cahaya. “Sesuatu” baru bisa dilihat, kalau sesuatu itu memantulkan cahaya yang sampai ke mata kita.

Lalu kita bertanya. “Kalau sekiranya ada benda yang terhalang sedemikian rupa hingga tak satupun cahaya mampu melepaskan diri dari cengkramannya, tak ada cahaya yang bisa lolos menuju mata kita, artinya kita tak kan pernah bisa mengamati kehadiran benda itu (padahal jelas ia ada), lantas benarkah boleh kita katakan benda itu tidak ada?

Berhakkah kita mengatakan, bulan itu tidak ada sebelum kita menyadari dan melihat kehadirannya? Berhakkah kita menyatakan, ‘elektron’ itu “omong kosong’ saja, hanya lantaran kita tak sanggup melihatnya, dan memang selamanya tak kan pernah sanggup (sesuai pembuktian percobaan fisikawan bernama Heisenberg)?

Kemudian, apakah Tuhan itu juga menjadi tidak ada, hanya karena kita tak mampu mengamati, mengukur, menimbang dan lalu melihatnya? Bukankah semua itu semata-mata ketakberdayaan, keterbatasan dan kelemahan kita saja? Indera tak kan mampu menembus hakikat segala sesuatu. Akal pun begitu. Macet. Lapangan itu bukan lagi bidang geraknya. Saat itu keadaan kita seperti seorang buta yang memegang sepotong es yang dengan cara merabanya ingin mengetahui bentuk dan ukuran es itu. Pada saat diraba eh, es-nya malah mencair, hilang ukurannya, disebabkan proses penyelidikan itu sendiri.

Kita juga dapat saksikan,betapa teraturnya gerak kontruksi alam semesta. Semua terjalin rapi. Tiada bukti ada unsur kebetulan di dalamnya. Siapa lagi, kalau bukan Allah yang mengaturnya, memeliharanya? Einstein misalnya, dia juga yakin adanya Allah, sang pencipta. “Tuhan tidak bermain dadu dengan alam ini”, tegasnya. Dia yakin, alam ini tersusun rapi, simetris dan sederhana. Bagaimana dengan diri kita sendiri?

“Rasul-rasul mereka berkata: Apakah masih ada kesangsian tentang adanya Allah yang telah menjadikan langit dan bumi?” (QS. Ibrahim: 10)

penulis: Nilna Iqbal

1 thought on “Apakah pengamatan dapat dipercaya?”

Leave a Comment