Kiat Menulis Untuk Media Massa

oleh: Nilna Iqbal

Sebuah tulisan untuk media-massa sebenarnya tidak selalu harus benar-benar “tulisan pribadi” atau yang sering kita bayangkan sebagai karya asli/original, meluncur dari kata-kata sendiri, buah pikiran asli, murni.

Ada memang jenis naskah yang lebih enak ditulis dengan cara “mengarang“, yaitu yang keluar dari hati nurani atau pikiran sendiri. Misalnya saat menulis surat pribadi atau surat pembaca, menulis cerita, menulis essay/opini, menulis hasil pengamatan, pengalaman atau observasi.

Akan tetapi untuk tulisan jurnalistik, cara “ngarang” ini biasanya belum pas sebagai naskah jadi. Kekuatan naskah karya jurnalistik sebenarnya terletak pada “isi atau materi” alias substansi. Dan hal ini tidak mungkin dihasilkan hanya mengandalkan pikiran sendiri apalagi melulu suara hati penuh emosi. Pembaca berita tidak akan peduli dengan pikiran anda, juga perasaan anda. Yang mereka mau, fakta-fakta apa yang anda temukan dan laporkan. Yang perlu kita fokus ya pada fakta-fakta itu.

Jadi, kalau mau menulis untuk media-massa, rahasianya : BAHAN! Skill menulis apapun yang anda miliki saat ini, pakai sajalah. Asal bisa menulis kalimat yang orang lain mengerti, sudah cukup itu. Soal bagus atau jelek, biarkan saja. Ntar juga diperbaiki sama editor/redaktur, asalkan memang isinya “layak terbit”. Sambil terus berjalan, saking seringnya menulis, lama-lama skill atau cara kita menulis itu akan baik juga secara otomatis. Akan berlaku teori “kuantitas akan melahirkan kualitas“.

Menulis Tanpa Beban
Proses menulis yang sering saya sarankan bagi kalangan penulis pemula adalah FreeWriting dan Re-Writing.

Dengan teknik Free Writing berarti kita menulis secara  bebas, tanpa mempedulikan bagus tidaknya tulisan yang sedang digarap. Pokoknya terus saja menulis sampai capek, sampai tidak ada lagi yang mau ditulis. Sekalipun nggak urut biarkan saja. Tidak bagus cuekin saja. Bahkan karena bingung, akhirnya kita hanya menulis: “… apa ya? Aku tak tahu mau nulis apa? Ah gimana nih? Dst”. Yang ada dalam pikiran kita cuma: what next, next, next!

Perhatikan saja kalau kita lagi emosi (khususnya marah atau gembira), atau dalam pengaruh tekanan (seperti lagi ujian essay).  Naturalnya sebagian besar kita akan menulis dengan cara free writing, ya ‘kan?

Anda yang dalam keadaan normal ngakunya tidak bisa menulis, saya yakin sekali dalam dua keadaan itu dengan ajaib tiba-tiba bisa lancar menulis. Apalagi jika yang mau disampaikan begitu banyak. Bisa sampai pegel.

Lha, setelah selesai menulis, tentu hasilnya wow… jelek sekali ya. Semua serba ada. Banyak yang asal-asalan, atau juga urutannya bisa jadi ngaco.

Disinilah saatnya anda mulai menyunting, mulai dari membuang yang tidak perlu, menyusun lagi urutannya serta membaguskan bahasanya. Bisa bolak-balik berkali-kali, sampai akhirnya anda suka dengan hasil akhirnya.

Cara lain adalah menulis dengan teknik Re-Writing atau menulis ulang. Ini sangat cocok dan sangat mudah bagi para pemula. Yang kita lakukan adalah mengumpulkan bahan-bahan (referensi atau hasil wawancara) lalu kemudian menulis-ulang kembali bahan tersebut dengan tentu saja memakai gaya bahasa sendiri.  Sebut sajalah hasilnya sebagai naskah-ramuan.

Ramuan yang baik biasanya selalu berupa pernyataan yang disusun dengan kalimat lain, yang berbeda dengan kalimat sumber informasi yang asli. Sedang ramuan yang buruk seringnya berbentuk kumpulan kalimat sama dengan sumber aslinya. Kadang-kadang malah ada semacam ramuan atau rangkuman yang tidak merangkum, tapi mengutip berbagai pernyataan sesuai dengan aslinya, walaupun dengan kata-kata yang disana-sini diganti dengan kata lain, agar agak berbeda.

Selama naskah-ramuan itu tidak menunjukkan hasil pengumpulan berbagai informasi (lebih dari satu sumber), ia belum dapat disebut naskah-ramuan namanya, tapi itu jiplakan yang ringkas.

Sebaiknya dalam menulis naskah ramuan gunakan gaya bebas saja, seperti sedang menyampaikan informasi kepada seorang teman akrab. Apa yang ditulis biasanya memakai kata lain yang berbeda dengan kata dalam informasi aslinya. Hanya idenya saja yang sama.

Sesudah ramuan itu selesai ditulis, tetap saja sebaiknya naskah itu disunting lagi minimal mengedit bahasanya, atau paling tidak ya judul dan leadnya. Bila perlu, agar lebih gurih rasanya, mungkin masih bisa kita selipkan dan perbaiki intonasinya, nadanya, gaya bahasanya, atau bahkan sedikit digarami dengan humor-humor jenaka.

Lekuk Tubuh Sebuah Tulisan
Agar sebuah tulisan tersaji dengan rapi, ramping dan enak dibaca, ia harus dirangkai dengan pola urut-urutan tertentu. Pola urut-urutan ini disebut kerangka tulisan, yang pada dasarnya terdiri atas:
(1) Judul/Wajah yang mencerminkan tema,
(2) Lead (sapaan/pendahuluan) yang memancing minat dan gairah,
(3) Tubuh yang ramping dan dinamis, serta
(4) Penutup yang bergaya pamit.

Setelah semua bahan penulisan Anda kumpulkan, pasti ada satu yang paling menarik. Inilah yang kita jadikan pembicaraan utama. “Perihal”-nya kita pasang sebagai pemancing minat dalam lead, dan nanti kita ceritakan lebih jauh dalam tubuh tulisan. Kalau dapat, ”perihal” yang paling menarik ini kita expose secara besar-besaran dan kita ceritakan habis-habisan sampai tuntas. Tak ada lagi informasi lain yang menyisa. Point-point (atau perihal-perihal) yang lain tidak usah diceritakan panjang lebar, karena toh tidak menarik.

Judul itu = Iklan Lho !
Selain harus mencerminkan isi tulisan, judul mesti mampu menarik perhatian calon konsumen/pembaca. Sebab, siapapun yang akan membaca, pasti akan membaca judul lebih dulu. Sekaligus juga ingin tahu, apa gerangan yang akan disajikan dalam tulisan itu, setelah perhatiannya terlambat pada judul. Kalau judul ini ternyata melempem, tidak menarik karena tidak mencerminkan apa-apa, pembaca tidak akan tertarik membaca tulisan itu lebih lanjut.

Intinya adalah kita harus mampu mengiklankan naskah kita lewat judul itu. Jadi karena itu berpikirlah tiga kali lebih keras dari sebelumnya saat benar-benar menetapkan judul. Bayangkan saja bahwa nasib naskah anda benar-benar 90% bergantung pada judul.
Karena itu bikin judul sebaiknya di akhir saja sesudah naskah selesai. Sebenarnya sih boleh-boleh saja ditulis sebelum mulai menulis. Keuntungannya paling tidak ini akan membantu kita mengarahkan ide utama tulisan tsb. Tapi sebaiknya anggap saja judul itu hanya untuk sementara. Yang benerannya nanti setelah naskah benar-benar selesai.

Untuk menciptakan judul yang bagus dijual (saleable), carilah dari seluruh isi tulisan kita itu beberapa kata kunci (keyword) lalu rancanglah paling sedikit tiga ide-judul, untuk dipilih salah satu yang paling jelas mencerminkan isi sekaligus paling “laku”. Ide-judul ini belum resmi sebagai sebuah kalimat-judul, melainkan baru focus pada ide-promosinya saja, sedangkan kalimatnya biarlah nanti diperbaiki lagi.

Sesudah memilih satu, kita tulis ulang lagi judul yang satu ini agar memenuhi tema. Itu dapat panjang (mula-mula), karena memang ingin menjelaskan isi tulisan yang bersangkutan. Tetapi kemudian kita ringkas lagi dengan kata lain yang lebih kena dan lebih menarik perhatian.

Tapi kita juga tidak boleh “terlalu ekstrem” menciptakan judul yang bersifat semu, atau yang kebangetan menipu pembaca, karena ingin sekali mengejutkan dan menarik perhatian, lalu tidak lagi mencerminkan isi sebenarnya.

Pada dasarnya, judul memang harus dibuat sependek-pendeknya (dalam arti  ringkas), namun tetap harus jelas maknanya. Tetapi sebaliknya, judul yang terlalu pendek juga tidak akan mampu mencerminkan tema atau sinopsis isinya. Karena itu terpaksa kita kembangkan dulu. Kalau tidak mungkin (karena terpaksa mengorbankan kekhususan judul pendek), boleh juga membiarkan judul pendek itu tetap pendek, tetapi dengan ditambah sub judul dibawahnya.

Baik judul yang terlalu panjang, terlalu pendek, maupun yang kabur, tidak dikehendaki. Karena itu diperlukan pemikiran dan penulisan ulang beberapa kali dulu sebelum akhirnya ditemukan judul yang paling cocok.

Lead, Jatuh Cinta Pada Pandangan Pertama
Setelah tertawan oleh judul, minat para pembaca selalu akan tergugah oleh sapaan pertama (alinea awal) yang merupakan lead (pelopor/pendahuluan). Itulah wajah atau daerah paling depan yang akan membuat pembaca sudi masuk ke maksud utama penulis.
Karena itu, pada waktu membaca pendahuluan ini mereka berharap akan bertemu dengan hal-hal yang menarik. Kalau ternyata tidak berhasil, minat bacanya menurun.

Kapan bagusnya menulis lead? Apakah saat awal menulis? Saya punya saran bagus. Lupakan dulu teori lead yang sudah anda pelajari saat menulis. Ketika sedang menulis teruskan saja. Yang Penting semua gagasan dan fakta yang mau diungkap sudah tersampaikan.

Nah setelah selesai menulis, barulah mikirin lead. Carilah di sekujur tubuh tulisan kita itu content apa yang paling menggugah selera. Apa yang baru bagi kebanyakan orang? Apa yang tampak langka? Apa yang penting? Yang dilihat dan dicari content.

Apabila sudah ketemu ambil paragraph itu. Jadikan dia lead. Tentu kalimat dalam paragraph itu harus dipoles ulang. Dan tentu saja karena lead diambil dari bagian tengah tulisan, jadinya struktur naskah kita perlu ditata ulang. Mainkan copy paste. Pindahkan paragraf-paragraf sesuai keinginan anda. Mungkin jika agak sulit ambil kertas dan cobalah merancang ulang desain naskah itu. Saya suka menyebutnya rekayasa pikiran.
Apabila susunan naskah sudah anda sukai, barulah konsentrasi pada kalimat-kalimat yang ada. Buatlah agar tubuh tulisan benar-benar ramping dan menarik.

Tubuh Yang Ramping dan Penuh Aksesori
Karena hal paling menarik sudah ditulis dalam pendahuluan, sebenarnya tubuh tulisan hanya kebagian sisa-sisa perihal yang kurang menarik saja. Ini bisa jadi akan  membuat tubuh tulisan agak melempem. Untuk menghindari hal ini … apa akal? Para penulis beken bilang poleslah alinea yang menyusun tubuh itu sedikit menarik.

Biasanya kan satu alinea terdiri atas beberapa kalimat. Kalimat pertama menegaskan “apa” (gagasan, gambaran, definisi) yang akan diceritakan. Kalimat kedua menjelaskan pengertian yang tersirat dalam kalimat pertama tadi, agar pembaca mempunyai gambaran yang lebih jelas tentang gagasan itu. Kalau dengan kalimat kedua masih dirasa kurang cukup menjelaskan materi pokok tadi, disusunlah kalimat ketiga yang harus dapat menjelaskan kedua kalimat sebelumnya itu agar pembaca mempunyai “a clearer picture” (gambaran yang jelas) tentang hal yang dituturkan itu. Begitu seterusnya, kalimat belakangan selalu menjelaskan kalimat sebelumnya. Tidak merupakan kalimat baru yang mencetuskan ide lain yang baru. Apalagi ide yang tidak ada hubungannya dengan kalimat-kalimat sebelumnya.

Kalau ada gagasan baru buat saja alinea baru. Tetapi jangan lupa selesaikan juga alinea sebelumnya sampai tuntas.

Alinea yang banyak dibaca ialah yang beruntun. Kalimat-kalimatnya saling berkaitan, menuju ke arah suatu gambaran tertentu yang gamblang (terang benderang).
Tubuh tulisan yang tersusun dari sejumlah alinea beruntun itu sebaiknya dibagi-bagi menjadi beberapa bagian, yang jumlahnya sesuai dengan materi (hal, topik, masalah) yang ada.

Supaya tulisan terasa lebih ringan, sebaiknya juga dibatasi jangan sampai terlalu panjang melebihi empat bagian. Memang boleh saja terdiri atas satu bab yang amat panjang, tapi tulisan semacam itu pasti melelahkan pembaca. Dan usaha menggugah minat baca yang sudah berhasil dilakukan oleh alinea pendahuluan sebelumnya jadi sia-sia, karena tubuh tulisan terlalu melelahkan.

Tiap bagian dari tubuh tulisan harus diberi judul bab sebagai pemisah. Selain memberi kesempatan pembaca agar beristirahat sejenak (pikirannya) sebelum meneruskan membaca, judul bab bertugas sebagai penyegar, pemberi semangat baca yang baru.
Tubuh tulisan akan terasa enak dibaca, kalau terasa lancar membacanya.  Dan agar tercipta kelancaran ini, alinea-alinea yang membentuk bab atau bagian dari tubuh tulisan harus dinamis. Artinya harus cepat beralih ke topik berikutnya, kalau memang sudah waktunya beralih. Itu berarti tidak boleh terlalu lama berhenti membicarakan sesuatu topik panjang lebar sehingga jalan cerita terasa lamban. Yah kadang terpaksa deh kita harus membuang ulangan kalimat, ulangan ungkapan, bahkan sering pula ulangan kata yang sama.

Tiap bagian dari tubuh tulisan itu sendiri sebaiknya dibatasi, jangan sampai terlalu panjang. Paling banyak sampai lima alinea saja. Bahkan yang masih terlalu banyak harus diringkas dulu sebelum dijadikan bagian yang terdiri  dari atas lima alinea.

Sebuah tulisan akan mengesankan, kalau ia sudah dapat tamat dibaca dalam waktu lima belas menit. Waktu sesingkat ini tidak melelahkan pikiran untuk menyerap informasi.

Penutup Sebagai Pamit
Tulisan akan janggal rasanya, kalau ditutup dengan kata “penutup” (seperti makalah lokakarya). Meskipun tulisan itu harus ditutup dengan penutup, tapi lebih enak rasanya kalau tidak dikatakan terus terang dengan judul ”penutup”, melainkan langsung saja berupa alinea baru yang bergaya pamit dan terasa sebagai alinea akhir.

Gaya pamit biasanya bisa dihasilkan dengan menyelipkan kata “demikian”, “jadi”, atau “maka”.  Kata “akhirnya” juga memberi kesan bahwa alinea ini bergaya pamit, asal diikuti dengan nada yang menurun.

Dengan merasakan gaya pamit itu, sebenarnya para pembaca juga sudah tahu bahwa sebentar lagi “perjalanan ke alam imajinasi melalui tulisan” itu akan berakhir tanpa perlu diumumkan segala. Karena pengumuman itu hanya akan mengganggu saja, kecuali mungkin pengumuman saya ini, “Terima kasih, sampai jumpa :)”.

2 thoughts on “Kiat Menulis Untuk Media Massa”

  1. Saya ingat sewaktu Bang Nilna jadi juara I lomba menulis tentang Eknomi, padahal Abang dari astronomi. Kiatnya – masih ingat waktu ngajarin di IRA Com 20 tahun lalu – mindahin paragraf orang, comot sana comot sini, selanjutnya bikin alur ceritera baru yang kita inginkan. Saya suka diminta ortu bikin Khutbah Jum’at buat dibacakan beliau. Caranya,… ya seperti kiat Bang Nilna tadi. Hasilnya? Wow,… ayah saya senang dengan tulisan “ramuan” saya. Terimakasih Bang Nilna, ide-ide Anda tentang cara menulis bermanfaat sekali.

    ———————–
    Wah senang sekali bisa jumpa di alam virtual ini, Luqman. Kiat “asembling” itu memang mudah sekali ya. Asal jangan lupa lho, ada rambu-rambunya juga. Yang perlu kita racik ya memang ide-naskah dan desain komunikasinya. Ini yang paling penting. Nah untuk mengisinya, ya boleh lah kita gunakan berbagai resources, baik internal resources (pengalaman, pengetahuan pribadi, dll) ataupun external resources (misalnya bahan-bahan dari berbagai sumber itu), asalkan “property” orang lain tetap kita akui keberadaannya ya ‘kan Luq. Salam buat keluarga 🙂

  2. wow……………bener penulis yang hebat saya pengen seperti anda. semoga anda dapat memberikan trik jitu yang lebih ampuh dalam menulis. om shanti, shanti, shanti, om. suksma

Leave a Comment