Dulu, orang yang berpandangan sederhana percaya bahwa manusia adalah poros alam semesta. Selama ribuan tahun mereka juga meyakini bahwa Bumi pusat jagat raya. Bulan, Matahari, dan bintang seakan bertasbih dan tawaf mengelilingi Bumi tempat manusia berdiam.
Paham geosentris ini dikemukakan Claudius Ptolemeus tahun 140 SM dalam karyanya Almagest.
Ketika Al-Qur’an diwahyukan kepada Rasulullah saw pada abad VII M, paham geosentris masih tertanam kuat dalam wawasan pengetahuan manusia pada masa itu. Bahkan, pada era Khulafaur Raasyidiin, Bani Umayah dan Bani Abbasiyah kepercayaan itu tetap dianut kebanyakan orang. Sehingga, beberapa terminologi ayat Al-Qur’an sempat menimbulkan kesulitan yang cukup berat pada ahli-ahli tafsir Al-Qur’an zaman itu. Mereka masih terpengaruh bahwa benda-benda langit lain berputar mengelilingi Bumi.
Misalnya, untuk menerangkan terminologi sab’as samaawati yang diterjemahkan ‘tujuh langit’, seorang penafsir menjelaskannya sebagai lapisan-lapisan tempat beredarnya benda-benda langit. Menurut tafsir itu, langit pertama merupakan tempat beredarnya Bulan. Di langit kedua terdapat A’tharid, ‘Merkurius’. Di langit ketiga terdapat Uhra, ‘Venus’. Di langit keempat ada Matahari. Di langit kelima ada Arikh, ‘Mars’. Di langit keenam ada Usytari, ‘Yupiter’. Di langit terjauh terdapat Juhal, ‘Saturnus’.
Beberapa penafsir lain mengambil jalan tengah dengan penuh kehati-hatian menerangkan ayat-ayat “ilmiah” itu. Misalnya, ahli tafsir yang masyhur antara abad X-XI M, Al-Thabari, berpendapat bahwa kita harus tutup mulut jika tidak tahu. Barulah beberapa abad kemudian beberapa terminologi Al-Qur’an itu dapat dicerna oleh ilmu pengetahuan manusia.
Membantah Ptolemeus
Awal abad VII M, turun ayat Al-Qur’an yang langsung membantah teori geosentris Ptolemeus. Ayat itu berbunyi:
“Kamu lihat gunung-gunung itu. Kamu sangka dia diam. Padahal, ia berjalan sebagaimana jalannya awan… Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. An-Naml: 88)
Ketika ayat itu turun, banyak manusia (kaum kafir Qureis, Yahudi dan sebagian umat Islam) yang berkerut keningnya. Mengapa tidak? Bagaimana mungkin gunung-gunung yang jelas berdiri kokoh itu dikatakan berjalan? Apalagi berjalan laksana awan!
Tidak mustahil bila banyak kaum kafir mencemooh Rasulullah. Menurut pandangan mereka apa yang tertera dalam Al-Qur’an itu tidak logis dan melawan pengamatan inderawi.
Akan tetapi, kaum Muslimin yang benar-benar mengimani Allah dan Rasulullah serta meyakini Al-Qur’an sebagai aksioma kehidupan dan sumber kebenaran tetap mempercayainya, sekalipun pengetahuan belum bisa menjangkau pernyataan Al-Qur’an yang sangat ilmiah tersebut. Mereka menyadari bahwa kebenaran ilmu yang mereka pegang terlalu naif bila dibandingkan dengan kebenaran ilmu Allah Yang Maha Mengetahui.