Bagaimana kebiasaan itu terbentuk?

Seekor gajah dilatih dengan mengambilnya sejak ia masih sangat muda dan merantai salah satu kaki belakangnya pada sebuah patok besar yang ditancapkan di tanah. Secara naluri, ia ingin mencabut tiang tersebut. Tetapi karena tubuhnya masih kecil dan relatif lemah, ia tidak mampu melakukannya.

Setiap kali gajah kecil itu mencoba menarik patok itu dari tanah, sebuah sel saraf (atau sel otak) di kepalanya menyala dan terhubung dengan sel saraf yang lain, dan sebuah pikiran/kesimpulan dasar “aku tidak bisa” terbentuk -dalam hal ini, “aku tidak bisa menarik patok ini dari tanah!”

Ketika proses ini terjadi untuk pertama kalinya, “pikiran” tersebut hampir-hampir dipaksa untuk memicu terjadinya hubungan antar sel-sel otak.

Namun, ketika gajah itu mencoba mencabut pancang dari tanah untuk kedua kalinya, dan sel saraf itu menyala, lintasan samar-samar yang telah tercipta membuat hubungan antar sel menjadi lebih mudah.

Akibatnya, semakin keras upaya gajah tersebut, semakin kuat pula hubungan yang terbentuk, sampai kemudian jalan setapak itu berubah menjadi jalan, dan kemudian menjadi jalan dua arah.

Akhirnya, tiba saatnya ketika hubungan antar sel-sel saraf itu hampir mirip dengan jalan tol; sekarang ia menjadi jalan yang hampir-hampir bebas hambatan dan menjadi kebiasaan dan keyakinan yang dikondisikan.

Ketika si gajah sudah tumbuh dewasa dan mampu mencabut sebatang pohon, ia dicegah agar tidak berjalan-jalan hanya dengan mengikatnya dengan sepotong rantai biasa yang dikaitkan ke sebuah patok kecil di atas tanah. Hanya itu yang dibutuhkan karena gajah tersebut sudah dikondisikan untuk percaya bahwa ia tidak dapat mencabut patok itu dari tanah.
(reference: Life Mapping, Brian Mayne & Sangeeta Mayne, Penerbit Kaifa, 2005)

Leave a Comment